Top Social

cerita-cerita untuk dikenang

Kura-kura Lepas

Senin, 20 Desember 2021

 Seharusnya hanya sementara selesai. Tapi dunia ini kadang punya cara unik agar semua jawaban yang terasa jelas kembali abu-abu. Semua yang dirasa cukup mendadak kekurangan. Semua yang dulu terasa lengkap jadi hilang arti dan tujuan. Semua yang dikenang, harus direlakan.


Dee Lestari bilang dunia ini cair, maka harus bisa beradaptasi di segala kondisi.


Mungkin aku masih seekor kura-kurang dalam cangkang. Tempatku terbatas dan aku tidak tahu apa-apa selain cangkang milikku sendiri. Kura-kura ini harusnya di lepas, supaya tahu bagaiman cara bertahan hidup. Supaya mengerti bahwa yang ia tahu tidak selalu benar. Dan kebenaran tidak selalu perlu diucapkan. Hal itu pula harusnya dimengerti kura-kura yang hidup dalam cangkang. Oleh sebab itulah jadi kehilangan kepercayaan diri dan mungkin masih cukup jauh jarakku untuk membersamaimu. Mungkin masih jauh untukku bertemu persimpangan lagi. Mungkin memang aku butuh kawan, tapi mungkin belum saatnya.


Maka demi Dzat yang Maha Baik, yang telah mempertemukanku dengan orang baik lain sepertimu, harapan-harapan yang hampir patah itu mesti diletakkan dalam tempat aman meski tak mewah. Agar suatu hari nanti bila memang sudah waktunya, bisa dipoles menjadi lebih indah atau bahkan harus diberikan pada yang lain sebagai hadiah.


Untuk pertama kalinya dalam hidup, mengajak lalu menyelesaikan apa yang sudah dimulai. Meskipun penyelesaiannya bukan pakai cara yang paling terbaik. Sebetulnya tidak ada perpisahan dengan kalimat 'putus baik-baik' kan? Karena jika memang baik, tidak akan ada putus diawal kata. Pertama kalinya pula untuk tidak menunggu dan mencari solusi sendiri. Aku hanya merasa ini belum saatnya, firasatku bilang mungkin nanti, sehabis semua badai tahun ini bisa aku kuasai, dan seluruhnya masih sendiri, akan kuperjuangkan lagi apa-apa yang hari ini kurelakan pergi.


Tapi kemungkinan lainnya, sehabis semua badai itu, aku justru kembali menemui badai lain dan harus kembali adaptasi dengan diriku yang punya perisai baru. Mungkin juga tidak lagi ada yang sendiri. Semua hal di dunia ini tidak ada yang tidak mungkin. Aku bertaruh selama setahun ini untuk paling tidak masalah secara internal bisa teratasi meski entah bagaimana caranya aku tidak tahu. Aku tidak berharap untuk satu nama, tidak lagi berharap semuanya berjalan seperti rencana, tapi semoga saja aku mampu menjalani apa yang menurut-Nya benar dan itu sudah cukup untuk jadi alasan merasa bahagia. Keinginanku beririsan dengan keinginan-Nya.


Setelah merusak banyak hal, memperbaiki bukan perkara mudah. Menerima bahwa aku seorang hamba yang lemah dan hari-hariku sudah diurus-Nya kadang masih kesulitan. Masih sering ingin mengatur, padahal sejatinya Yang Maha Mengatur hanyalah Allah, Rabb seluruh alam. Kadang tidak sadar masih sering tersakiti ekspektasi sendiri, tidak memasrahkan apa yang jadi suratan takdir buatan illahi.


Siapapun itu, yang nantinya bersinggungan dengan lingkaran kita, kuharap sabar senantiasa hadir dalam hati. Istigfar sebagai perisai diri, dan senyum selalu menghiasi. Perkara yakin, di suatu hari yang indah, di mana langit sedang biru tanpa awan dan angin berhembus lembut, disitu kita akan bertemu untuk pertama kalinya lagi.


Saat ini biarkan Yang Maha Menjaga, menjaga kita di tempat-tempat kebaikan. Bersinergi dengan kebaikan lain untuk semakin bertumbuh menjadi pohon yang kokoh dan teduh. Mempelajari yang paling esensial dari hidup. Bukan lagi soal nominal, ini perkara iman yang menjadikan kita akan terikat suatu hari nanti. Akan ada kebaikan meski kali ini kau kupatahkan. 


Selamat berhenti berharap pada manusia. Kita mulai lagi dari awal ya, dari diri sendiri di tempat start masing-masing. Meski garis finsihnya akan beda, di persimpangan nanti bisa jadi kita berjumpa. Bukankah kita sama-sama yakin orang baik selalu bertemu dengan kebaikan lain? :)

Lilin, pantaskah jika untuk hidup lebih lama?

Nyala terbatas dengan sedikit kapasitas,
Terang redup di sebuah kelas, 
Mungkin tak sadar membakar diri
Sampai habis tak ada bekas


Mungkin memang ibarat,
Lilin adalah tanda sebuah isyarat. 
Menghanguskan diri untuk menerangi sekat.
Tak pernah bisa bertahan saat sekarat.


Lilin, lilin,
Mengapa tercipta menjadi baik?
Mengapa mau mati untuk sebuah terang
yang hanya sesaat?


Lilin, lilin, 
Mengapa tak bisa besar tubuhmu agar
bisa bertahan lebih lama? 
Atau bisa tidak dibuat tahan api sumbunya?


Lilin, lilin, 
Terima kasih tapi jangan hidup sebentar.
Masih banyak ruangan perlu cahaya.
Masih sudikah engkau dibakar hangus kembali? 








S2wise. 20.12.21pu


Yang Tak Mungkin Hilang

Selasa, 14 Desember 2021
Sudah berhenti napasmu di kehidupan
Tapi suaramu masih ada
Terisi dari lagu-lagu populer yang disukai
Dan karena aku mengingatnya


Mungkin sudah lupa
Karena udah dikebumikan sakitnya
Kilas balik memori menggoda
Dan karena aku mengingatnya


Salahmu masih jelas
Tapi kebaikanmu membekas
Meski garis bersinggungan keras
Sudah pasrah engkau kulepas


Masih belum sampai untuk sebuah temu
Bahkan sekadar tahu dan menyapamu
Sebuah melankolia sejak tahun lalu
Bingungnya masih berjejak baru


Yang tak mungkin hilang
Meski waktu sudah banyak terbuang
Adalah ia yang bilang mau datang
Namun pergi tanpa kembali pulang



Dan dengan kepercayaan diri sisa-sisa,
Membiarkan agar digerakkan semesta,
Untuk menemukan siapa nahkoda
Dari kapal yang kau bukakan pintunya.




Yang tak mungkin hilang - S2 setelah mendengar lagu Dean Lewis Be Alright dini hari. 14.12.21

Kebaikan Kecil

Minggu, 12 Desember 2021
Sepulang dari kegiatan di luar kantor, abang ojol bertanya gini:

"Mba, emang halal ya makan di situ?"

Sebelumnya titik lokasi penjemputan ada di sebuah resto kwetiaw di daerah Glodok yang cukup ramai hari itu. 

"InsyaAllah pak. Kalo review nya sih Halal. Daging sapi kok." jawabku. 

"Iya, saya kaget soalnya mba berhijab trus makanan di sana kan non halal."

Jawaban abang ojol itu mau gak mau bikin saya senyum. Wih.. Gini yaa rasanya dapet kebaikan dari orang lain. Meski gak kenal tapi peduli. Bahkan tentang halal haramnya makanan. 


Buatku, perhatian sekecil apapun dari orang lain sudah cukup jd alasan agar berbuat kebaikan yang lain. 


Soalnya ketika menerima kebaikan, kita sendiri jadi senang. Dan kita mau orang lain juga jadi senang. 

Jadi inget hadist ini:

Dari Abu Hamzah Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, pembantu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Salah seorang di antara kalian tidaklah beriman (dengan iman sempurna) sampai ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri.”

[HR. Bukhari, no. 13 dan Muslim, no. 45]



Jadi kalo mau beriman, pas dirinya mendapatkan kenikmatan dalam hal agama, maka wajib baginya mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya mendapatkan hal itu. Jika kecintaan seperti itu gak ada, maka imannya berarti dinafikan sebagaimana disebutkan dalam hadits.


Mungkin kisah abang ojol semalam itu tanda bahwa abang ojol tersebut orang yg beriman ya. Ia hendak mengingatkan, dan mungkin khawatir karena aku muslim dan berada di tempat non muslim. Makanannya gimana, dan lain sebagainya makanya bertany demikian. 

Alhamdulillah Allah kasih lagi sebuah hidayah. Bahwa rezeki itu bentuknya banyak, salahsatunya dari pertanyaan tersebut. Masih ada banyak orang yg peduli. 


Inget, fokusnya tuh bukan estu-sentris. Tapi Allah-sentris. Dan biarkan semua rahmat-Nya dan rezeki mendekatiku sesuai perhitungan-Nya. 



Mudah-mudahan semua kebaikan-kebaikan yang dilakukan bernilai ibadah dan dilipatgandakan oleh Allah. 


Barakallahu fiik. 

Melihat Yang Lelah Melangkah Kembali

Jumat, 10 Desember 2021

Keganjilan ini membuat kita terperangkap,

meskipun belum bisa genap,

semoga langkah yang lelah itu tidak membuatmu pengap,

dan meski jalan di depan masih gelap.


Karena seorang pemuda melankolis yang banyak pikiran

sepertimu

harusnya tetap akan kembali

menyapa basa-basi seperti kawan lama


Tidak ada yang meninggalkan ataupun ditinggalkan.

Karena pada akhirnya aku mengerti.

yang penting,

kita sama-sama melangkah lagi.


Mungkin didepan sana memang bukan kamu.

Mungkin didepan sana memang bukan kita.

Mungkin didepan sana memang bukan aku.

Bukan masalah besar, kan?


Meski visinya sama,

tapi misinya beda.

dan itu tidak apa-apa.

selama masih hidup dan nyata.




ya, kan?




Kalau boleh kubilang, 

terima kasih yaa, untuk tetap bertahan

meski seluruhnya menyudutkan.

Terima kasih yaa, mau tetap bergerak

meski semuanya meninggalkan.




Terima kasih telah kembali,

untuk menyapa dan pergi lagi.

Selalu Ada Alasan Untuk Setiap Langkah

Kamis, 09 Desember 2021
Menjadi berani tidak pernah mudah bagiku, dan barangkali bagi kamu juga. Ketakutan selalu jadi mimpi buruk untuk setiap tindakan. Mempengaruhi diri menjadi banyak mikir tanpa eksekusi yanh jelas karena mengedepankan ego untuk bermain aman. 


Oh sudah barang tentu karena seringkali salah mengambil keputusan, rasa berani itu hanya hadir tipis-tipis dibandingkan dengan ketakutan.

Bagiku, satu keputusan berpengaruh besar untuk hidup yang bisa jadi jauh lebih berantakan. Lebih kacau dan makin bingung maunya apa. 

Bagiku, satu keputusan bisa berarti menyakiti seluruh pihak. Termasuk menghancurkan ekspektasi sendiri, menghancurkan ekspektasi orang yang disayangi, dan artinya aku perlu melepas mereka yang pergi lantas membuat diri jadi rusak dan tidak tahu harus dari mana untuk diperbaiki.

Bagiku, satu keputusan berarti tentang ego terakhir yang berusaha defensif atas cita dan cinta yang dimiliki. Artinya, aku berperang melawan diri dan bahkan dunia ini dengan taruhan idealisme masing-masing, demi menyatakan aku tidak main-main dengan seluruh ucapanku. 


Menjadi berani dengan punya satu keputusan itu menakutkan. Namun sisi lainnya, itu harus dilakukan. Aku tidak pernah berani ambil satu keputusan, dan menunggu seseorang memojokkanku pada satu kondisi dan pada akhirnya, barulah aku memilih satu keputusan. Pola yang menyebalkan dan lama. Sebab itu artinya aku selalu membuat keputusan dalam keadaan terdesak. Dan butuh orang lain sebagai trigger utama. 


Sampai hari ini, setiap langkah yang kulakukan selalu punya orang lain sebagai alasan. Tidak ada yang benar-benar karena aku. 


Aku terlalu abai dengan diriku sendiri. 


Menurutku, saat sudah tidak ada lagi yang harus dipertahankan dalam hidup kecuali keimanan dan percaya ini bentuk pertolongan-Nya, mendadak rasa takut itu kalah dengan keinginan untuk memulai semuanya dari awal. Membuang apa yang pernah dimiliki dan mencari apa yanh baru. Meskipun itu terasa ganjil. 


Aku sendiri pergi ke tempat asing, memacu diri pada kesendirian lain yang lebih sepi dan minim apresiasi, sambil berharap kali ini bisa mengobati rasa penyesalan demi penyesalan di masa lalu. Berharap dengan ini, aku jadi tau apa yang aku mau dan apa yang sebenarnya Allah inginkan dariku. 


Mungkin aku lebih beruntung karena tidak benar-benar membuang semuanya, tidak benar-benar memulai dari nol. Aku hanya melanjutkan apa yang sudah kumulai. 


Tidak ada tombol restart dalam hidupku. 


Alasan-alasan masih tetap dibutuhkan untuk memotivasi diri di tempat asing dan menempa hati agar tidak lagi menerima ketidakjelasan. Tapi kali ini, alasan-alasan yang dibuat jauh lebih sederhana, hanya untuk-Nya. 


Mencari sebagian rahmat-Nya sebagai bentuk balasan cinta kepada Rabb semesta alam.


Tidak ada lagi alasan pelarian untuk memulihkan luka. Tidak ada lagi alasan menyendiri karena tidak ingin dikomentari. Tidak ada lagi alasan pergi karena rasa bersalah. Tidak ada lagi alasan menyesal atas hal yang telah terjadi. Seluruhnya kuterima sebagai identitas di masa lalu. Aku yang hari ini tidak ingin lagi beralasan karena diri sendiri. Selalu ada Rabb yang jadi alasan utama dibalik setiap keputusanku.

Dan jika seluruh keputusan yang telah dibuat berujung pada berakhirnya apapun itu, aku tidak akan kecewa. Karena Allah lebih tahu mana yang aku mampu daripada egoku.

Semoga tetap dalam koridor kebaikan dan bukan semata-mata memberi makan ego dengan menjadikan cinta-Nya sebagai alasan. Semoga selalu dalam lindungan Allah dalam melakukan kegiatan. Diberkahi dan disayangi seluruh makhluk ciptaan-Nya dimanapun berada.

Doakan orang lain, maka yang lain akan mendoakanmu.







Barakallahu fiikum. 

Yang Tak Kasat Mata

Rabu, 08 Desember 2021
Setengah tahun berlalu, dan rasanya kian jauh dari apa yang dahulu diperjuangkan namun didekatkan dengan apapun yang jadi kebutuhanku.

Meskipun tidak mengerti, sebenarnya sudah betul atau belum, langkah yang kuambil ini tepat atau tidak, aku berusaha maju dulu, menjebol dinding defensif yang dibangun tinggi demi ego pribadi.

Kali ini lawannya bukan ia yang dapat peringkat satu. Tapi lawanku kini adalah aku.


Setelah sementara selesai, satu-satunya pintu yang terbuka adalah rumah. Dan disanalah duri-duri bersumber yang menyebabkanku membangun dinding defensif tinggi dan tebal. Supaya durinya tidak menyakitiku. Padahal yang seharusnya kulakukan sejak dulu adalah memangkas duri itu. Bukan membangun dinding penghalang yang sama sekali tak menolong.


Setengah tahun dihabiskan dengan segala macam kesibukan sedikit banyak bisa melihat dan evaluasi mana saja hal yang jadi prioritas dan mana yang perlu keberanian lebih untuk bisa diwujudkan.

Sebab sejauh mana aku berharap, jika digantungkan pada manusia lagi, maka layaknya kaca yang diterjunkan dari ketinggian. Hancur berkeping-keping.


Tapi Allah tidak mungkin salah kasih takdir. Pertemuanku dengan berbagai macam manusia telah menggiringku pula ke pintu hidayah.

Tidak ada yang lebih menenangkan dibanding telah mengenal siapa pencipta kita, sehingga apapun yang terjadi bukan lagi penuh kekecewaan. Bukan lagi keluhan karena kurangnya dimengerti manusia. Bukan lagi kesedihan karena kurangnya diri ini. Tapi bisa dengan tegar kuucapkan,
Alhamdulillah... Segala puji bagi Allah Tuhan Semesta Alam yang telah menghidupkanku dan mencukupi apapun kebutuhanku. Kuterima seluruh takdir-Mu wahai Allah yang Maha Cinta.


Dan nanti, kuyakini kamu juga akan mengerti. Entah hari ini, esok atau di masa depan, bahwa ini bukanlah tentang seberapa banyak usaha yang kita lakukan untuk orang lain, tapi seberapa banyak usaha yang kita lakukan untuk mendapatkan ridho-Nya. Supaya Allah tidak marah dengan kesalahan yang kita pernah lakukan. Fokuslah pada pencipta kita, biarkan Allah yang menunjukkan apa yang harus kita lakukan.


Semoga selalu jadi reminder untuk diri sendiri ketika sedang tergelincir.


Barakallahu fiikum. 

Berhenti Khawatir

Minggu, 05 Desember 2021
"... Manusia itu sangat zhalim dan bodoh. "


Berulang kali surah Al Ahdzab ayat 72 diperdengarkan, sampai penggalannya kutulis sebagai pembuka tulisan hari ini. Sebagai pengingat dan mengenang kalau aku telah melakukan kebodohan dan semoga tidak berulang kembali. 


Kutipan dari Rumaysho mengenai surah ini adalah, Allah Ta’ala menerangkan mengenai beratnya amanat yang diemban. Amanat ini adalah menjalankan perintah dan menjauhi larangan-Nya. Amanat ini ditunaikan dalam keadaan diam-diam atau tersembunyi, sebagaimana pula terang-terangan. Asalnya, Allah memberikan beban ini kepada makhluk yang besar seperti langit, bumi dan gunung. Jika amanat ini ditunaikan, maka akan memperoleh pahala yang besar. Namun jika dilanggar, maka akan memperoleh hukuman. Karena makhluk-makhluk ini takut tidak bisa mengembannya, bukan karena mereka ingin durhaka pada Rabb mereka atau ingin sedikit saja menuai pahala.

Lalu amanat tersebut diembankan pada manusia dengan syarat yang telah disebutkan. Mereka mengemban dan memikulnya, namun dalam keadaan berbuat zalim disertai kebodohan. Mereka senyatanya telah memikul beban yang teramat berat.



Lantas setelah mengikuti kajian Riyadhus Shalihiin mengenai bab amanat, ternyata besar sekali tanggungjawab sebagai khalifah di bumi. Belum lagi setelah aku membaca tulisan Ust. Harry Santoso mengenai Fitrah Life Based yang juga tentang amanat. Masyaallah... Sekurang bersyukur itu aku pada pemberian-Nya. Sedih sekali ternyata aku sangat zhalim terutama pada diri sendiri. Mungkin kepada orang lain juga. Hanya aku ga sadar saja. 


Amanat-amanat itulah yang seharusnya kufokuskan untuk terus mencari tenang dan wajah Allah tanpa terganggu oleh pandangan manusia lain. Tapi rupanya aku belum mampu. Masih terasa sulit apalagi ketika yang menjadi ujiannya adalah si ganjalan tisu dalam hati.

Maha Cinta, sesungguhnya apa yang Engkau inginkan atas pertemuan ini? Iya kah ia menjadi qowwam ataukah sekali lagi sebagai bukti ke-Maha Suci-an-Mu dan melindungiku dari keburukan?


Mungkin bila boleh meminta, biarlah yang kemarin menjadi cerita. Biar saja pudar dengan sendirinya. Tidak perlulah lagi tarik ulur jika akhirnya hanya sebatas mengisi gelas kosong bukan untuk memenuhi gelasnya.


Maafmu diterima, maafku diterima. Lantas apa lagi yang dicari dari cerita dua orang yang sedang mencari Tuhannya? Bukankan sudah cukup bekal untuk maju? Kita kan sedang mencari apa yang tertinggal di masa lalu, untuk sembuh di masa depan.


Saking bodoh dan zhalimnya, yang kukhawatirkan malah kau, bukan dosa-dosa karena lalainya aku menunaikan amanat. Aku rasanya ingin membenci diriku seperti yang sudah-sudah, tapi Allah yang Maha Cinta begitu baik padaku sampai segan. Jika aku membenci diriku, itu kan sama artinya dengan membenci Dzat yang menciptakanku. Mana sudi aku membenci Allah yang Maha Baik. Tidak sepatutnya aku zhalim pada diriku sendiri.


Jadi, bolehkah aku minta untuk berhenti sementara? Berhenti khawatir terhadap apa yang menjadi takdir-Nya. 


Aku tak masalah sendirian dulu sampai amanat-amanat yang kumiliki rampung. Aku ingin mengenal Rabb yang menciptakanku lebih dalam lagi, dan jika Allah mengizinkan baru kita bisa mengenal-Nya bersama-sama.


Aku gak mau salah langkah lagi.

Siapa yang Nanti Merasa Beruntung?

Sabtu, 04 Desember 2021

Sebuah perenungan dan dituliskan secara jujur ketika seorang kerabat mengirim undangan pernikahan ke grup. Ia meminta maaf bahwa undangannya hanya sebatas digital yang dalam hati kukatakan bahwa ia terlalu perasa, bahkan aku tidak ingat kalau punya teman-teman di SMP dan tak ingat ada nama dia di grup angkatan.


Dan dari undangn tersebut, dibagian bawah ucapan-ucapan, banyak yang bilang beruntung mendapatkan wanita tersebut karena masakannya enak.

Lantas aku jadi berpikir, jika aku mendapat kesempatan untuk menikah (sesuatu yang terasa tidak nyata bisa terwujud setelah berkali-kali gagal), apakah yang bisa pasanganku dapatkan ketika memilihku? Apakah ia akan merasa beruntung? Sedangkan yang kutahu diriku ini masih ampas dalam kehidupan.

Terlalu sering naif dan miskin ilmu, serta sering sok tahu dalam menilai sesuatu. Khawatirku masih memburu daripada rasa tenangku.

Dan jatuh cinta dengan dipayungi rahmat Allah masih menjadi harapan besar untuk bisa terwujud, meskipun dalam langkahnya masih terseok-seok dan sering tergelincir.


Bila menantimu adalah tabungan kesabaran, mungkin karena wadahnya cukup besar jadi perlu waktu lebih lama daripada yang lain agar terkumpul.


Jika ia yang datang gak se worth it itu untuk kamu tunggu, sudahlah, lepaskan saja. Ini bukan tentang siapa yang paling lama bertahan kok. Bukan juga soal siapa yang jadi jahat, bukan soal siapa yang paling pengertian. Tapi siapa yang paling sesuai dengan kehendak-Nya.

Ayolah, mau sampai kapan terjebak dalam angan-angan tanpa tepi?

Sadari kalau kamu masih harus berjalan dan menunaikan amanat-amanat lain yang lebih besar daripada memikirkan ia yang tak pasti.


Siapa yg merasa beruntung saat bersamaku nanti? Ditulis 4.12.21



Kotak Waktu Bernama Foto

Rabu, 17 November 2021
Pagi yang biasa, hari berjalan pada umumnya. Tapi barangkali Allah hendak mengingatkanku kalau aku tidak boleh terlalu larut dalam angan-angan.

Kemarin, setelah tiba-tiba mimpi konflik bersama orang di masa lalu dan siangnya benar-benar berkirim pesan padamu salah satu diantara mimpi itu, aku merasa tidak lagi berat ataupun sedih, dan sedikit banyak mengerti kalau kesalahan terbanyak tentulah ada pada diri ini meskipun tidak seluruhnya.

Adalah foto screenshot yang entah kenapa tadi pagi aku membacanya satu per satu di bulan-bulan ketika sakura bermunculan.

Membacanya membuatku senyum-senyum sendiri karena isinya tidak lebih dari bahasan mengenai ketakutanku, dan ketidakpercayaanku pada semua sosok di dunia ini termasuk diriku sendiri.


Agak terhenyak, beberapa kalimat yang ia tulis barangkali memang terkabul atas seizin Allah setelah sementara selesai. Tulisan ataupun doa-doa yang sempat dikirimkan padaku, kalau bisa dipeluk, mungkin sudah kupeluk erat dan berterima kasih. Sebab Allah menunjukmu, mendatangkanmu untuk hadir dalam cerita hidupku bukan tanpa alasan.


Meskipun banyak cela, hadirku ini, semogalah bisa juga menjadi setitik nasehat untukmu sebagaimana dirimu yang selalu menjadi pengingatku.


Segala percakapan, challenges yang dilakukan, doa-doa yang dipanjatkan, sudah tertulis jadi amalan. Mudah-mudahan keburukan yang sempat dilakukan bisa terhapus dengan kebaikan lainnya di masa ini.


Benar rupanya, kotak memori ada dalam fotografi. Meskipun semuanya bergerak dan berubah sesuai dengan keinginan-Nya, foto yang tersimpan tidak akan berubah sama sekali. Mereka seperti membekukan waktu dan kita akan mencair karenanya. 


Tidak pernah sekalipun menyesal memotret segala sesuatu yang bahkan hanyalah potret langit dan awan-awan secara blur. Sebab disaat itulah aku secara sadar utuh hadir penuh menjalani kehidupan tanpa rasa ingin kabur.


Memori tidak pernah lagi menyakiti, bila kita izinkan ia berkenala tanpa harapan. Memori tidak pernah lagi menghakimi, bila kita izinkan ia menerima kesalahan. 


Kesalahan ada untuk diperbaiki, bukan untuk ditinggal pergi.


Ikhlas tidak terucap dan sabar tidak berbatas.


Foto-foto mungkin bisa membawa kita kilas balik pada ingatan yang seru atau mengharu biru. Bisa juga seperti mesin waktu doraemon yang bikin gagal move on. Tapi ketahuilah, semua hal yang sedang dijalani ini Allah yang kehendaki. Maka mudah-mudahan aku dan kamu, kita semua, bisa saling memperbaiki agar melepas apapun yang sifatnya duniawi.


Semoga saja kotak waktu itu pada akhirnya membawa kita pada kebaikan lain yang Allah ridhoi.



Barakallahu fiikum. 

A Twist In My Story

Sabtu, 13 November 2021

Sabtu sore di China Town, hujan mengguyur kota beberapa hari belakangan. Sudah masuk minggu kedua Rabiul Tsani di hijriyah ini. Kalau dipikir-pikir, waktu bergulir sama cepatnya seperti awal tahun masehi yang kukira berputar melambat setelah ditinggal pergi. Meskipun sempat pesimis, apa bisa hidup dengan memori ditinggal lagi, nyatanya hari ini masih bisa bernapas sebagaimana umumnya manusia di bumi.


Berita-berita kehilangan, dan berita-berita kelahiran silih berganti memenuhi halaman sosial media. Semua cerita saling baur-membaur menghujani penduduk maya. Mungkin karena sudah mengurangi interaksiku di sana, aku jadi bisa melihat betapa hebatnya manusia-manusia di dalam dunia maya berinteraksi dan dijejali informasi tiap hari. Agak nampak seperti perang informasi, tapi mungkin itu hanya sekadar aku punya opini. Karena aku sekarang merasa tak mampu beradaptasi di ruang maya, akhirnya memilih kembali ke blog untuk merenungi hal-hal yang terjadi padaku secara nyata.


Ada suatu momen di mana aku sangat ingin membuat tweet dan mendedikasikan tweet itu pada seseorang, tapi berakhir men-discard tweet, menutup aplikasinya dan... uninstall. Aku memilih kembali berkomunikasi secara purba saja, tanpa ada suara yang terdengar manusia lain, tanpa ada kata yang dibaca orang lain. Mereka bilang telepati, tapi pada prakteknya hanya doa dengan sepenuh hati.


Sejujurnya aku tidak begitu bagus dalam menulis tangan, tulisanku berubah-ubah sesuai dengan kondisi pulpen yang digunakan dan mood saat menuliskannya. Pun ketika mengetik di platform untuk menulis seperti di blog atau wattpad, rasanya tulisanku masih begitu-begitu saja dibandingkan tulisan-tulisan orang lain. Tapi entah mengapa, meskipun aku sudah menghindar dari tulis menulis, pada akhirnya aku akan kembali menulis. Ya, tulisanku akan masih tetap sama sih tentang apa yang kurasakan. Bukan tulisan agar menginspirasi, atau tulisan fiksi yang bisa dinikmati, tapi sepertinya memang Allah memberiku fitrah dalam hal linguistik ini. Semoga kedepannya aku bisa meningkatkan skill di kepenulisan ini saja ya. Udah lelah mencari, aku hanya ingin menerima apa yang ada dan berfokus mengembangkannya aja. Sebab seperti yang sudah diketahui, untuk menerima diri itu tidaklah mudah. Dan prosesnya cukup panjang lagi melelahkan.


Di China Town, seperti yang kalian tahu, aku tidak begitu menyukai tempat ini. Namun hanya disinilah aku bisa menenangkan diri. Kalau ini ada di zaman Rasulullah, mungkin bentuknya akan jadi sebuah goa, namun karena ini tahun 2021, maka tempat bertafakur-ku adalah sebuah kosan tanpa cahaya dengan dinding berwarna hijau. Sungguh mengingatkan pada karpet masjid, kan? :) Allah Maha Tahu atas segala sesuatu.


Maudy Ayunda bilang, "tidak ada yang lebih pedih, daripada kehilangan dirimu." dan aku kini mengerti, mengapa lirik lagunya begitu mudah membuat pipi dihujani air mata ketika diputar meski cuma sekali. Bahwa, tanpa Allah aku benar-benar tersesat dan kesedihan begitu menyayat hati. Ditinggal pergi oleh seseorang yang pernah berjanji memang mampu membuatku hilang arah dan merasa tidak berarti. Namun, baiknya Allah yang selalu menolongku saat patah hati. China Town adalah tempat terbaik untuk refleksi diri. Apa yang sesungguhnya harus kulakukan sebagai bentuk cinta kepada-Nya yang sangat bermurah hati.


Tidak ingin lagi aku menjadi reaktif untuk sesuatu, tidak ingin lagi selalu merasa menjadi korban padahal bisa jadi aku pelaku patah hati.


Hidup ini memang menarik. Kadang seperti menonton drama, kadang seperti pemeran utama. Dan seperti lirik lagu dengan judul yang sama dengan judul artikel ini, aku mau bilang kalau ceritaku bisa berubah-ubah sesuai skenario-Nya. Dan aku gak masalah kalau aku harus berkawan dengan air mata, atau menerima kesepian sebagai tamu utama, Allah tidak akan pernah salah kasih takdir dan segala yang terjadi adalah yang terbaik menurut-Nya. 


Kalau kamu merasa sedang lelah dan tidak sengaja membaca tulisan ini, semoga kamu ingat bahwa meskipun kini dunia terasa memojokkanmu, ada seseorang yang selalu mendoakanmu. Selalu. Jadi berbesar hatilah, lalu jangan segan meminta bantuan, kepada siapapun yang kamu mau jika kamu butuh :)


"So you see, this world doesn't matter to me I'll give up all I had just to breathe The same air as you till the day that I die I can't take my eyes off of you."

Kita jauh ntah di mana, namun dekat di doa.

Kepada Seluruh Hal yang Pernah Terjadi

Minggu, 07 November 2021
Apa yang kamu ingat tentang usia dua puluhan? 


Mayoritas akan bilang isinya tentang suka cita. Bertemu banyak orang baru, teman-teman yang sefrekuensi, tenaga yang mumpuni, dan sebagian besar pasti merasakan gairah cinta terhadap lawan jenis.


Banyak diantaranya yang mengejar cita-cita, banyak juga yang sibuk foya-foya, dan diantara lainnya bertanya-tanya, untuk apa aku ada di dunia?


Hal tersulit ketika sedang merasa marah adalah mengingat kebaikan-kebaikan yang pernah diberikan. Mungkin aku merasa marah pada makhluk-Nya, atau marah pada diriku sendiri yang tidak mampu menjadi kusir dari nafsuku. Lantas kebaikan Allah yang sangat banyak kepadaku ini jadi terlupa. Dan sempit menguasai isi hati.


Sibuk menggali potensi, berlatih tanpa henti, melupakan banyak cerita tentang itu dan ini. Dan akhirnya, berkontemplasi. Sebenernya apa sih? Apa yang mau aku cari dari seluruh kesibukan yang kujalani?


Menjadi jujur pada diri sendiri rupanya seperti sengaja menabur garam pada sariawan. Perih, meskipun menyembuhkan. Ada rasa traumatis dan kelelahan ketika membuka diri pada kesalahan yang pernah dilakukan.


Usia dua puluhan bagiku, adalah waktu ketika memulai mengenali perasaan. Menggali makna dan sedang berusaha membasuh luka pengasuhan. Sebagian bilang bahwa aku terlalu maskulin untuk jadi perempuan, terlalu berani mengambil keputusan. Dan aku makin bertanya-tanya, kemanakah fitrahku dan perjanjianku dengan Rabb-ku Yang Maha Baik, mengapa aku bisa lupa? 


Umur dua puluhan, apalagi yang sudah menuju tengah maupun berada di akhir, umumnya merasakan kegelisahan luar biasa mengenai hal-hal yang tak kasat mata. Mungkin berkenaan tentang pasangan, atau berkenaan tentang pengembangan diri. Mencari-cari, apa sih sesungguhnya yang Allah mau dari diriku yang kecil ini? 


Mengapa Allah terus menjauhkanku dari orang yang baik padaku? Lantas, sesungguhnya apa yang aku harus aku lakukan atas segala hal yang datang dan pergi?


Allah... Ketika kuingat segala salahku di masa lalu, dan bahkan yang baru hari ini terjadi, aku merasa tidak pantas untuk seluruh rahmat yang kurasakan setiap harinya. Terlalu banyak kebaikanmu Ya Allah... Bagaimana caraku membalasnya? 


Engkau Yang Maha Tahu atas segala isi hati dan setiap pergerakan. Engkau yang Maha Penjaga, dan tempat bergantungnya seluruh harapan. Maafkan aku masih lalai dalam menunaikan hak-Mu, dan masih sering merasa sedih atas segala sesuatu yang tak dimiliki olehku. Aku terlalu ingin jadi pengatur, padahal itu bukan pekerjaanku. Engkau-lah yang Maha Mengatur.


Wahai Allah, kepada siapa nama dan doa-doa yang kutitip pastilah Engkau ketahui. Sebagaimana kegelisahan yang mengusik ini, pastilah Engkau yang Maha Mengerti kapan waktu terbaik untukku menemukan fitrah dan kembali.


Kepada sesiapapun yang pernah kujanjikan tak akan pergi, maafkanlah aku terlalu sombong ketika berujar. Maafkan bila pahit pada tindakan dan terlalu bermanis di bibir tanpa pengantar. 


Bila perbuatanku yang berubah-ubah seperti musim hujan di Bulan Juni itu nyatanya menyakiti hatimu, semoga Allah memberimu kelapangan hati agar memaafkanku. 


Ketahuilah bahwa aku sama lemahnya denganmu, aku sama-sama manusia sepertimu, dan kemampuanku hanyalah sebatas permintaan maaf tak langsung seperti ini. Sebab entah siapa yang kusakiti, entah siapa pula yang enggan bertemu lagi setelah disakiti. Mungkin sedikit, mungkin banyak, aku tidak tahu pasti. Yang aku tau, aku merasa perlu menyampaikan ini padamu; bahwa aku menyesal telah menyakiti dengan lisan dan perbuatanku.



Kepada seluruh hal yang pernah terjadi, aku kini tidak akan lagi memusuhimu. Aku nyata dan mengerti mengapa kamu melakukan itu di masa lalu. Dan aku akan memaafkan diriku atas salah tindakan itu. Menerima kalau hidupku tak akan pernah sama dengan mereka punya opini, bahkan perbedaan itu sampai pada iklim hati. Allah Maha Mengerti mengapa aku terlahir seperti ini. 



Aku masih menggali, apa yang sebenarnya Allah mau. Belajar berhenti untuk mengatur urusan yang bukan pekerjaanku. 



Jika Rabb-ku menghendaki perpisahan, maka berpisahlah dengan kemudahan. Begitu juga dengan pertemuan, jika Allah menghendaki pertemuan, maka terjadilah dengan tanpa kesusahan.


Aku ingat sebuah kutipan :


"I have loved you, I did my best."
(Jane Hawking, Theory of Everything)




Semoga selalu diberikan kekuatan dan kesabaran. 


Barakallahu fiikum. 


Tentang Sawang Sinawang

Kamis, 28 Oktober 2021
Postingan seseorang yang budgeting 2 jutaan untuk hidup 4 orang di rumah ternyata cukup menampar. Seseorang itu bilang sedikit belum tentu kurang, banyak belum tentu cukup. Hidup ini sawang sinawang. 

Dan begitulah. Memang hidup ini saling liat-liatan. Rumput tetangga selalu lebih ijo daripada rumput sendiri. 

Hari ini kembali diingatkan perihal bersyukur. Hidup ini bergantung pada gimana cara kita memaknai kehidupan. Kita akan menjalani hidup dengan bahagia atau bersusah hati, tergantung dari gimana kita memaknai.

Filosofi sawang sinawang punya arti sebagai saling melihat. Diambil dari Bahasa Jawa. Entah konotasinya akan jadi positif atau negatif, kembali lagi kepemikiran masing-masing.

Ungkapan Bahasa Jawa yang aku suka selain witing tresno jalaran soko kulino, ya ini: sejatine urip kuwi mung sawang sinawang. Artinya hakikat hidup ini hanyalah soal bagaimana seseorang memandang sebuah kehidupan. Persoalan melihat orang lain, dan dilihat orang lain ternyata emang gak cuma aku doang yang mengalami. 

Ngeliat orang lain kayak enak banget ya, hidupnya bisa ini dan itu. Sedangkan kita susah, buat makan aja ngirit-ngirit. Apalah hape aypon, android jadul aja udah mending ada daripada gak ada. Kok bisa ya punya pasangan lama, awet, mesra lagi. Aku kok masih sendiri. Kok bisa ya dia cantik, dan supel, ramah sama semua orang pantes aja banyak yang suka, lah aku apa biasa-biasa aja. Ah.. Pokoknya terus aja banding-bandingin. Padahal hidup jadi gak enak, resah dan gelisah karena membandingkan dengan hidup orang lain. 

Lupa kalau sejatinya hidup cuma sebentar. Apa yang udah kita usahain juga bisa berkhianat atas seizin Allah SWT. Kita bisa punya apa-apa di dunia ini, itu karena kemurahan hati Allah dan karunia-Nya. Bukan karena kita yang pinter, atau kita yang jago. Bahkan pinter juga datangnya dari Allah. 

Tidak hanya kita yang manusia akhir zaman yang sering nyawang. Aisyah RA juga pernah 'menyawang' kehidupan Rasulullah.

Ingat cerita yang tentang Aisya bertanya mengapa ngapa Rasul solat tahajud sampai kakinya bengkak karena berdiri terlalu lama? 

“Wahai Rasul, mengapa engkau selalu melakukan ini di malam hari, sedangkan hal ini bukanlah suatu kewajiban? Dan juga, bukankah semua dosa-dosamu baik yang akan datang ataupun dosa yang telah lalu akan diampuni oleh Allah?”Rasulullah Nabi Muhammad Saw. pun tersenyum dan beliau berkata,“Apakah salah apabila aku ingin menjadi Hamba Allah yang bersyukur?”

Apakah kita sudah benar-benar bersyukur dengan apa yang Allah beri? 

Menjalani hidup dengan tujuan mencari ridho Allah dan kerelaan pandangan dari sesama makhluk. Sadari kalau apa yang kita jalani adalah kenyataan dan nyawang orang lain adalah sebuah angan-angan tanpa ujung.


Semoga kita adalah termasuk orang yang pandai bersyukir sebagaimana Qur'an surah Ibrahim ayat 7 :

"Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti akami menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih."


Allahu'alam bisshawab. 

Berita-berita Menyenangkan

Minggu, 24 Oktober 2021
Beberapa hari belakangan aku ada di fase sibuk yang justru punya banyak waktu luang untuk mempelajari ilmu baru. Alhamdulillah, nikmatnya punya kesibukan dan menyelami kebesaran-Nya lewat firman dari kajian mingguan.


Perkara nikah, sudah mulai banyak kawan-kawanku yang lulus dari keegoisan diri dan menempuh hidup baru bersama pasangannya. Beberapa lainnya sudah menjadi ibu. Beberapa lainnya sedang menyiapkan diri, berdamai dengan luka hati.

Berita pernikahan selalu mengejutkan dan menyenangkan. Aku sendiri senang jika diundang untuk hadir ke acara walimatul urs. Beberapa waktu yang lalu ketika di rumah, sebisa mungkin untuk datang meskipun tidak icip-icip makanan, karena sejujurnya aku terbiasa liat orang tuaku yang datang ke walimah dan berbincang pada pengantin lalu pulang.


Sayangnya, saat ini aku di China Town dan tidak bisa sering bolak-balik pulang karena malas swab antigen tiap pergi keluar kota :( maafkan aku wahai sahabat yang menikah di era pandemi dan aku masih merantau, semoga meski tidak hadir kebahagian kalian tidak berkurang sedikitpun. Selamat jatuh cinta ya!


Belum lagi kalau lihat instastory, semuanya nampak happy. Ada yang lulus kuliah, ada yang ditraktir temannya, ada yang jalan sama keluarga, ada yang baru menemukan tambatan hatinya, ada yang gembira bersama hewan peliharaannya, dan banyak berita gembira lain. Menyenangkan. 


Memperhatikan orang lain nampaknya jadi keahlianku, berkat izin Allah. Dengan hal itu, aku merasa mudah pula bergembira atas kebahagiaan orang lain.


Sudah tidak lagi merasa berat atas segala pertanyaan yang sempat meluap-luap. Sudah membiarkan diri untuk menerima ketetapan-Nya. Sebab hidup ini memang bukan pilihan, melainkan pilihan-Nya, tugasku hanya menjalankan perintah sesuai petunjuk-Nya aja.

Sejujurnya, untukku pribadi, yang paling sulit dari perjalanan menuju Allah adalah memaafkan diri sendiri. Memaafkan kebodohan yang dilakukan itu nyatanya perlu energi yang besar dan pertolongan Allah juga, karena ketidakmampuan diri. Sejatinya, karunia Allah yang bikin aku jadi diriku yang hari ini.


Lihat bagaimana cara Allah, dengan banyaknya berita negatif di dunia ini tapi yang tersaji dihadapanku adalah berita-berita positif. Masyaallah... Alhamdulillah.... 


Memang Allah Maha Baik, Maha Cinta. 


Allah yang Maha Mengerti apa sesungguhnya yang paling dibutuhkan oleh hamba-hamba-Nya.



Allahu'alam bisshawab.
Barakallahu fiikum, semoga selalu istiqomah dalam kebaikan ♥️

Hidup Memang Perlombaan

Hidup ini layaknya track lari marathon. Kamu perlu banyak stamina dan konsisten untuk mencapai garis akhir yang ber-kilo-kilo jauhnya.





Bukan seperti lari sprint yang perlu kecepatan, hidup adalah tentang ketepatan. Hanya saja, ketika ingin jadi pelari yang tepat, terlalu banyak persiapannya. Belum lagi, ketika persiapan sudah dirasa baik. Tapi ketika mulai berlari cukup lama, malah terasa penat dan hilang gairah. Kok gak nyampe-nyampe ya?


Ada yang bilang kalau hidup itu bukan perlombaan.


Agak kurang tepat rasanya, memang sih.. hidup ini harus dijalani dengan kesabaran. Tapi tanpa rasa semangat untuk bertahan, tidak mungkin kita mampu mempersiapkan diri menyelesaikan perlombaan. 

Bukan perlombaan untuk ajang pamer harta dengan sesama manusia, bukan pula perlombaan untuk jadi yang paling bahagia di sosial media. Tidak bukan seperti itu lombanya. 


Bagiku hidup memanglah sebuah perlombaan. Berlomba untuk mendapatkan kebaikan. Berlomba-lomba untuk menjadi manusia terbaik. Berlomba-lomba agar Allah melirik. Berlomba-lomba untuk mengubah diri jadi lebih baik. 


QS. Al-Baqarah Ayat 148: "Dan setiap umat mempunyai kiblat yang dia menghadap kepadanya. Maka berlomba-lombalah kamu dalam kebaikan. Di mana saja kamu berada, pasti Allah akan mengumpulkan kamu semuanya. Sungguh, Allah Mahakuasa atas segala sesuatu."

Memang pada akhirnya bukan hanya soal siapa yang pertama, atau siapa yang paling terdepan. Hidup ini bagiku adalah sebuah proses membentuk diri. Tidak perlu buru-buru untuk sesuatu, dan tidak pula menunda-nunda untuk sesuatu pula. Bila ada kebaikan, maka laksanakan. Sesegera mungkin, dan selalu libatkan Allah dalam memulainya.


Berjuang memanglah melelahkan, lebih mudah bila melepaskan. Apalagi bila garis finis tidak kunjung tampak didepan mata. Berlari di tengah track marathon kehidupan juga tidak mudah. Perlu mengalahkan ego, dan kesombongan diri, agar bisa konsisten hingga akhir. Tapi bila Allah perkenankan kita untuk mengikuti perlombaan ini, mengapa harus khawatir tidak bisa menyelesaikannya? Mengapa masih mengeluh pada hal-hal yang sudah Allah jamin? 


Lagi-lagi memang bukan soal jadi juara satu, tapi jadi orang yang berjuang dengan tepat waktu. 


Berjuang sampai putaran terakhir, sampai nanti semua yang disembunyikan tersingkap takdir. Sebab ikhalas itu tak terucap, dan sabar itu tak berujung. 


Menjadi konsisten baik, dan jadi manusia terbaik di mata-Nya bukan dipandangan manusia.





Allahu'alam bisshawab. Semoga kita semua diberi kekuatan untuk bertahan dalam kebaikan. 

Lukacita

Kamis, 21 Oktober 2021
Butiran hujan tidak pernah salah turun,
berbeda langit di setiap tempat,
Puan merasa tinggi meski sudah terjun,
tak sadar akal meski sudah penat.


Yang tidak mungkin salah rasa,
mungkinkah hanya asa dalam peristiwa
atau cerita khayalan agar bahagia
menggadai semua seolah pasti baik-baik saja.


Daftar utamanya tak terlibat, namun ia sendiri tak ingin terikat
Meronta seolah disekat-sekat,
Sekali lagi tak sadar akan meski penat,
Dan di cerita, semuanya akan tampak jahat


Puan yang mencintai diri sendiri,
Tuan yang mencintai dunianya sendiri,
Ibu peri yang mencintai dunia kecilnya seorang diri,
Dunia ini terlalu sibuk sendiri untuk berbagi


Lalu biarkan melebur dan menguap.


Seperti cerita yang sudah-sudah.
Seolah tak pernah ada masalah.
Silakan berkeluh kesah.
Silakan berdamai dengan amarah.


Pada akhirnya tidak kau temukan siapa yang salah.
Sebab, kita memang akan jadi jahat pada banyak kisah.
Dan selalu jadi orang yang kehilangan arah
Saat hati sementara merasa gelisah.


Melandai tapi ia jauh tak tergapai.
Melebur tapi ia tak berbaur.
Menjadi bagian penting dari duka paling genting.
Menjadi bagian penting dari suka yang paling nyaring.


Yang berteriak itu tak pasti. Lukacita paling sering terjadi. Selamat menempuh perjalanan paling sedih, semoga diakhir nanti menemukan jati diri.





























S2. 21.10.21.

Mengembalikan Pada Tempat Semula

Senin, 18 Oktober 2021
Dua hari sudah terlalu banyak istirahat. Medis bilang ini adalah coping mechanisms. Kubilang ini adalah caraku bersembunyi.

Mungkin aku terlalu ingin mengatur.

Sehingga jika tidak sesuai keinginanku, yang paling tersiksa adalah aku yang tidak ingin dibantah atau tapi ikut campur. 

Mungkin memang aku terlalu ingin diakui. 

Sehingga apapun yang kulakukan, butuh apresiasi.

Sumber masalah utamanya masih sama, sejak belasan tahun lalu masih itu.

Minim apresiasi, dibiarkan tumbuh sendiri dengan kesibukan mereka sendiri, dari mereka aku memang tidak pernah diajari sebagai tuan putri. Melainkan seorang ksatria putri. 

Perempuan dengan hati dan fisik sekuat baja. Tidak boleh pergi, tapi tak boleh pula menangis. Akademik oke, fisik harus oke. Jika aku ada cacat meski sedikit, yang disalahkan orang yang paling ingin kulindungi. Nggak normal, katanya. Baik. Memang tidak pernah normal. 

Jungkir balik pun tidak akan bisa paham sejauh mana, atau sedalam mana kelam. Tapi aku yakin Allah tau. Aku tidak bisa mengukur, tapi Allah mampu. Aku tidak bisa meningkat apapun, tapi Allah maha mengerti.

Jadi, sekali lagi kucoba untuk memaafkan diriku yang belum mampu. Allah tau, Allah Maha Tau. Memang belum maksimal, dan jauh dari sempurna.

Allah tempat bergantung, dan biarlah Allah yang bantu untuk meletakkan dengan tepat, memperbaiki urusan, dan mengampuni segala salahku yang menyebabkan semua ini terjadi.

Allah Maha Tahu. Allah... Maafkan aku. Curhat

Orang Asing di Tempat Asing

Jumat, 15 Oktober 2021
Ketika aku sendiri, tawa yang dari pagi ada di wajahku pergi. Tubuhku kepayahan merasa letih tanpa alasan. Aku pulang, tapi rasanya melayang. Tidak menjejak ke bumi, tidak pula terbang tinggi.

Di momen ini, aku seringnya merasa benci pada diri sendiri.

Aku merasa mampu, tapi kemampuanku tidak pula berwujud apapun selain kata-kata tanpa pembaca.

Aku merasa bisa, tapi kebisaanku tidak berhasil membuat mereka mau bertahan lebih lama.

Aku, dengan sadar penuh merasa sedih atas semua usaha yang terasa sia-sia. Usaha yang kubuat untuk membuatku merasa lebih hidup dan nafasku lebih bermanfaat dari hari ke hari.

Aku payah dalam banyak hal, dan aku ingin diajari untuk menjadi lebih baik agar tidak lagi payah. Tapi tidak ada. Tidak tangan terulur, sehingga aku yang harus terus memanjat naik meskipun tanah-tanahnya justru semakin menimbun tubuhku.

Bertahan tidak pernah mudah. Aku marah pada keadaan, aku marah pada banyak hal yang sesungguhnya sejak awal tidak pernah kumiliki.

Di titik ini, tubuhku terasa memiliki dua arus berlawanan seperti dua buah baterai yang berbeda kutubnya.

Aku mau cinta, tapi tergadaikan oleh hal tidak berguna. Lantas penyesalan tidak bisa menyelamatkan apapun selain kesedihan. Ditengah gelombang itu, aku diselamatkan untuk bisa bertahan diatas batu. Aku merasa tidak sanggup, memilih untuk tenggelam saja daripada harus menaiki arus dengan payah dan kuyup.


Tapi kemudian, di esok hari, malam-malam yang suram itu kembali pergi seolah kemarin itu terlupa dan tak berarti. Kecemburuan pada ia yang telah pergi tidak nampak lagi. Tidak ada badai dan tidak perlu lagi menaiki arus sendiri. 

Awan mendung menggulung, hampa terikat tawa. Bahagia yang belum utuh, tertata rapi tanpa tanya. Meyakinkan diri berkali-kali bahwa semesta alam memiliki mata-mata, mereka mampu melihat usaha tanpa perlu payah berkata.

Meski tidak tahu kemana angin membawaku, meski kompas mengarahkan barat untukku, bergerak ke mana saja masih terasa lebih baik daripada terbunuh dalam keraguanku.

Jeda tidak pernah membunuh mimpi, ia justru menghimpun energi. Ada hal besar. Namun tidak tahu sebesar apa, dan besar versi siapa. Mungkin akan kacau, atau justru akan semakin baik dalam mengelola risau. Tidak tahu.

Bergerak.

Beradaptasi.

Belum saatnya pergi. 

Perjalanan Ke Barat : Masjid Istiqlal

Minggu, 10 Oktober 2021



Akhirnya ke Istiqlal lagi setelah dua tahun. 




Berasa nyari kitab suci ya, judulnya. Kayak Journal to The West yang ada Sun Go Kong itu loh dulu ada di TPI (sekarang MNC) hahaha. Ngomong-ngomong sebelum mulai, mau apresiasi diri sendiri hari ini beneran mau ngelakuin #MingguMain dan pergi sendirian naik transjak. Keren. 😌👏🏻

Kalau ada yang baca dari postingan awal China Town, aku udah nyebutin di sini suara adzan itu jarang kedengeran. Jangankan adzan, ada yang muslim aja paling satu atau dua orang. Terkejut dan terkaget-kaget di Ibukota dengan presentasi muslim sebagai mayoritas, ada wilayah yang nggak punya masjid begini. Menjadi minoritas di tempat mayoritas, sungguh ajaib Allah kasih storyline begini di hidupku. 

Dua tahun nggak ke masjid lambang toleransi beragama seperti Masjid Istiqlal ini, banyak banget perubahannya! Paling mencolok pas mau masuk harus scan. Hahahha! Aplikasi wajib yang masyarakat Indonesia harus install itu sekarang pedulilindungi. Jangankan mall, masjid juga harus scan. Yaa, gak apa-apa sih, salah satu bentuk ikhtiar juga. Siapa tau emang terinfeksi kan jadi bisa segera ditangani medis. 

Trus pas masuk ke taman, widih... Pangling. Berasa di Arab meskipun belum pernah ke Arab. Suasananya dapet lah. Dulu, setelah dari gate, langsung parkiran. Sekarang udah bukan parkiran tapi jadi pelataran. Nggak tau yang punya mobil sama motor, parkirnya di mana ya? Aku tadi pake umum jadi jalan kaki sesimpel itu. 


©Estuwise
Pelataran Istiqlal, 2021.


Masih suasana haru karena abis melewati seratus delapan puluh menit penuh perjuangan, masuk ke Istiqlal makin terharu. Cakep banget masyaallah, rapi bersih, indah banget. Sebagai makhluk yang udah lama gak ketemu masjid, rasanya pengen peluk-pelukin si masjid deh. Kangen. Pernah gak sih, saking kangennya sampe gak tau mau ngomong apa cuma bisa nangis. :) 


Seperti biasa, gate 7 yang umumnya selalu dibuka. Dan gerbang Al Fatah jadi poin utama. Cuma karena mau cepet-cepet wudhu, kebetulan gerbang Al Qudus dibuka, yaudah langsung cus. Agak penasaran, gerbang Assalam ini paling deket dari gate 7, tapi paling jarang dibuka. Trus karena sepi, yaudah deh aku foto aja. Siapa tau jadi inspirasi ide novel lain (sekali dayung dua tiga pulau terlampaui ya haha). 


©Estuwise
Pintu Assalam, 2021.


Setelah wudhu, naik tangga langsung ke tempat solat khusus akhwat (perempuan). Aku belum pernah tau tempat wudhu yang ikhwan (laki-laki) di mana. Tapi yang jelas dari pintu Al Qudus itu langsung tempat wudhu perempuan. Jadi, jangan salah ya. Nanti nyasar isinya ibu-ibu lagi buka hijab semua. 

Disambut dengan kubah besar yang menyerap seluruh kelelahan tubuh ini. Masyaallah, nggak ada hentinya mata ini berderai-derai, bersyukur masih dikasih kesempatan untuk hidup dan dateng ke masjid besar Istiqlal. 


©Estuwise
Kubah Masjid Istiqlal, 2021.


Berasa banget, aku yang kecil ini semakin kecil dihadapan-Nya. Kalo kata Feren, aku itu mini. Jadi kalau di kantor aja aku dibilang mini, sama Allah aku udah kayak atom electron kali ya saking kecilnya.

Berkali-kali ke Istiqlal nggak pernah nggak nangis pas masuk ke area solat. Kayak... Kebayang gak sih, kita tuh sekecil itu, sama masjid ini aja kita kecil... Terus kenapa kok bisa-bisanya sombong gak pernah nyariin Allah, bisa-bisanya sotoy dan maksain kehendak padahal Allah Maha Besar. Allah itu Maha Besar lho, diriku... Hellloowwww kok kamu sering memperbesar masalah kecil? Gak inget punya Allah yang Maha Besar ya? 


Karena pas nyampe sana udah masuk waktu ashar, jadi menunaikan ibadah sholat ashar dulu berjamaah. Itu aku denger adzan aja langsung tidak kuasa menahan haru, kayak kuping aku tuh segar kembali. Hatiku berasa penuh, ditambah di china town mana ada solat jamaah, adzan aja gak kedengeran malah nyaris gak ada. Jadi berasa triple combo, diserang hingga runtuh. Aku cuma bisa bersyukur. Berasa recharging energi. 


Aku baru mau pulang pas selesai isya, karena hari sudah gelap jadi memutuskan untuk ojol daripada naik turun transjak, pegel bun. Gak masalah mahal dikit, yang penting nyampe tempat cepat dan aman. 

Sedikit bonus foto:


©Estuwise


©Estuwise





Hal yang bikin cukup sedih adalah ini pertama kalinya aku ke Istiqlal sendirian. Biasanya sama Zhan, sobat sekamarku yang bulan depan akan jadi istri orang. Semenjak pandemi dan pisah kosan, kami cuma saling kontak via doa dan whazap, nggak ke masjid bareng buat qiyamulail, ngaji, atau sekadar random datang ke kajian bareng. Rinduuuu banget masa-masa kita itu, Zhan. Tapi gapapa, next kamu bakal melakukan itu semua sama kekasih halalmu, masyaallah... Terharu banget liat perjuangan zhan berubah jadi seperti sekarang. Biidzinillah, I've been watching for this 5 years. You're growing, ukh.. Barakallah. :') 


Selain nangis kangen, ternyata nangisin momen indah juga agak bikin hati penuh ya. Bener-bener hari ini bersyukur Allah gerakin ke Istiqlal. Refresh dari duniawi yang gak ada jedanya, berasa balikin energi buat belajar lagi. 



Sesungguhnya bersama kesulitan, ada kemudahan. 
Bersama kesulitan, ada kemudahan.


Bisa, insyaallah bisa. Allah yang bantu. 


Angan-angan Saja Atau Memang Mimpi Yang Belum Terwujud

Jumat, 08 Oktober 2021




Jum'at menyapa dengan cepat. Segala kegiatan terlewati seperti halu, atau seperti kepakan sayap burung gereja beterbangan di pagi hari China Town, cepat dan begitu mudah berlalu.

Penerimaan bisa membuat seseorang nyaman. Dari penerimaan itu, seseorang bisa bertumbuh jadi orang yang lebih baik, sayangnya kenyamanan itu bisa bikin terlena dan berhenti eksplorasi diri karena merasa tidak melakukan kesalahan.

Harapanku tinggi, sujudku kurang rendah, kurang lama, kurang sering. Keinginanku tampak seperti mimpi yang belum terwujud, tapi ternyata khayalan saja, angan-angan yang tak digapai dengan kesungguhan. 


Prioritas atau angan-angan tanpa batas, aku bahkan tidak mengenal lagi mana yang sungguh mana yang singgah. Semua bias, tapi syukurlah tidak membuatku jadi kebas. 



Memiliki mimpi adalah hak semua orang. Mewujudkannya perlu pertolongan Allah dan kekuatan tekad untuk berjuang. Yang terjadi di medan perang, ketika tidak sejalan dengan ekspektasi, aku murung dan menyalahkan diri. Kenapa begini... Kenapa terjadi.... Lupa kalau semua hal bukan urusanku kecuali berserah diri.

Angan-angan sajakah, atau memang mimpi yang belum terwujud? Aku bertanya-tanya setiap persimpangan jalan, ketika dua pilihan besar menuntut untuk segera dilakukan. 


Keinginan yang sering kali bukan jadi kebutuhan... Dipaksa dan dijadikan rute utama dalam perjalanan. 


Angan-angan sajakah, atau memang mimpi yang belum terwujud? 


Sampai hari ini, masih saja memaksa Tuhan yang Maha Sempurna. Ingin ini... Harus ini... Hari ini harus bisa begini... Besok harus bisa ini. Siapa yang memaksa? Diri sendiri jawabannya.


Pernahkah aku sejenak bersandar, berhenti melakukan sesuatu atas dasar 'aku', dan membiarkan 'yang menciptakan aku' mengambil alih semua to do list kehidupan ini?


Menjelang tahun baru katanya harus ada yang baru. Tapi sujudku masih terburu waktu, bacaanku masih surat yang itu-itu melulu karena hafalanku sudah banyak yang berlalu. 


Seseorang bilang padaku, untuk percaya padanya.

Bersikap totalitas, untuk membuatku mengandalkan dirinya.

Di sisi lain, suatu tempat asing tidak menjanjikanku apapun, tapi aku berjalan padanya. Bukan padamu. 


Aku berjalan pada-Nya. 

Pada-Nya, 

bukan kamu.


Terketuk hatiku di tempat asing ini untuk membaca firman-firman-Nya. Terjabarkan semua salahku di keheningan yang tanpa ada satu orangpun mengenalku. Tersedu-sedu karena kebodohanku yang bahkan tidak bisa menjawab pertanyaan dasar dari agamaku sendiri. Oh, ternyata ilmu yang kutau tidak cukup jadi bekal untukku pulang nanti. 

Inikah sebabnya dipisahkan? 

Kita ini... Angan-angan sajakah, atau mimpi yang belum terwujud?

Meyakini semua hal yang terjadi adalah mimpi yang belum terwujud. Bukanlah angan-angan belaka tanpa semangat memperbaiki. Aku berusaha mewujudkan mimpi, satu demi satu menghancurkan bata merah yang jadi tembok tinggi dan tebal sebagai pertahanan diri.


Hanyalah kuasa-Nya yang mampu mengurusiku sepanjang waktu. Penjagaan-Nya meliputi langit bumi dan segala isinya, termasuk dengan menjaga mimpiku. Kamu kutitipkan pada-Nya yang Maha Cinta, kelak di suatu tempat yang teduh dan tenang, kita akan bersua dengan hati gembira.


Biarlah yang berlalu jadi angan-angan tanpa batas. Biarlah jadi cerita yang kutulis fiksi dengan bebas. Kita semua adalah tunas, waktu bertumbuh akan sangat lama agar dahannya keras. Memupuk dan merawatnya perlu waktu dan tenaga agar menjadi pantas. 

Memantaskan diri untuk sesuatu yang lebih pasti bernama kematian. Tapi tetap mempersiapkan diri untuk gelombang duniawi, agar tidak karam ditengah samudera ilmu masa kini. 


Semua hal Allah ciptakan berpasangan. Setiap mimpi perlu usaha, setiap jiwa perlu cinta, dan aku membutuhkanmu sebagai pelengkap asa. Kita akan saling membantu untuk bertumbuh. Tabirnya belum terbuka. Tapi cinta-Nya yang begitu besar membuatku malu karena belum berusaha semaksimal yang kumampu.

Jujur pada diri sendiri, 
Angan-angan sajakah, atau mimpi yang belum terwujud?


Jawabannya tetap sama. 


Ini hanyalah mimpi yang belum terwujud. 

Mencintai-Nya Sebelum Mencintamu - Riska Wati Harfin | Review Buku

Kamis, 07 Oktober 2021


Sebab, sebaik-baiknya cinta adalah yang bersandar dan meletakkannya kepada Sang Maha Pemilik Cinta. 


Sekumpulan kisah dihadirkan dalam buku ini untuk memberi gambaran mengenai cinta, dan pemaknaannya yang cenderung disalahartikan oleh para perempuan.

Sebagai makhluk yang Allah ciptakan dengan kelebihan pada perasaan, perempuan memang mudah tergoyahkan. Terlebih di umur yang memasuki fase dewasa. Siapa yang tidak ingin dijemput oleh si cinta? Saling memayungi hati dari kegundahan dunia. Nampak bahagia. 

Tapi bisakah ia dijemput dengan cara yang halal? Bagaimana cara menjemput cinta? 

Buku karya Riska Wati Harfin ini menuliskannya pada bab-bab pertama. 

Terdiri dari enam bagian, dimana setiap bagiannya memiliki bab lain yang penuh dengan hadist-hadist populer, kata-kata ulama, dan kalimat motivasi relevan.

Setiap subbab memiliki porsi cerita yang berbeda. Sungguh asik jika menggemari bacaan untuk berkaca pada diri. Agar ingat selalu bahwa tidak pantas bagi perempuan untuk galau ke laki-laki, apalagi jika tidak ada ikatan diantara keduanya.


 Ada beberapa kalimat yang aku suka:

  1. Semua ujian yang Allah berikan adalah wujud cinta-Nya kepada kita (hal. 37)
  2. Kalau ujian membuat kita lebih dewasa dan lebih bijak, bukankah itu suatu hidayah yang dikirimkan Allah kepada kita? (hal. 37)
  3. Cinta memang mengajarkan banyak hal, bukan hanya bahagia. Akan tetapi, berbagai pelajaran hidup yang bisa membuat kita jauh lebih dewasa, lebih bijak, dan lebih selektif dalam mencari pelengkap hidup (hal 53)
  4. Pernikahan bukanlah tentang kesempurnaan, tetapi menyatukan kekurangan untuk saling menyempurnakan 

Detail buku

Judul              : Mencintai-Nya
                          Sebelum Mencintamu 
Penulis          : Riska Wati Harfin 
Penerbit        : Araska Publisher
Tahun terbit : 2018

Menanti jodoh, rezeki, kematian, bukanlah dengan diam pasrah menunggu. Nantilah dengan berperilaku baik, berprasangka baik, dan mohon yang baik. Tuhan hanya menjodohkan manusia yang tepat baginya.  (Ahmad Rifa'i Rif'an, hal. 206)





Belajar Diam

Rabu, 06 Oktober 2021






Tulisan ini lagi-lagi dibuat untuk refleksi diri, karena memang ingin mengenang bukan untuk dilupakan.



Sibuk. Empat bulan terakhir ini sudah terlalu banyak kesibukan. Sengaja menyibukkan diri, terlepas itu bener-bener pengen belajar buat upgrade diri, atau memang pelarian dari satu dan lain hal. 

China Town sungguh kota penuh berkah dengan seizin Allah untukku. Sungguh bersama kesulitan, disitu ada kemudahan. Bersama hati yang merasa kesulitan, disitu hati dilapangkan.


Diri sendiri seperti kotak pandora untukku. Membuatku penasaran dan ingin membukanya tapi takut kalau isinya tidak membuatku senang. Pada akhirnya, aku harus mengupas diriku sendiri seperi bawang merah di dapur rumah. 

Aku, dan lapisan kepribadianku yang terluar sangat cantik. Kalau tau bawang merah, tentu tau bagian kulit bawang yang ungu mengkilat itu setelah dibersihkan dari tanah. Cantik kan? Tapi mana tau bagian dalamnya bawang itu sudah busuk atau memang sama bagusnya dengan bagian luar.


Dunia ini fana, pikiranku belum tentu nyata.


Rentetan kejadian sepanjang lima tahun ke belakang, membuat perubahan yang cukup signifikan. Susah, senang, sedih, kecewa, marah, bahagia, syukur, mengambil keputusan, dan level tertinggi dari itu semua adalah diam.

Ternyata diam lebih sulit, daripada harus berbicara di depan puluhan orang untuk presentasi materi. Diam lebih susah daripada mencari bagian error ketika ngoding. 


Diam itu susah, ketika aku marah.


Mungkin bibirku tidak mengucapkan apapun, tetapi isi kepalaku penuh berbagai tanya dan kalimat berisi kemarahan. Dan kemarahan itu seringnya berujung pada diri sendiri. Mencaci maki diriku, seolah aku tidak berusaha memperbaiki.

Padahal sama-sama tau, bahwa sabar itu memang susah dan perlu terus dicoba. Ketika salah, ulang lagi prosesnya. Tentunya tetap minta bantuan Allah selama proses itu. 


Sayangnya, setelah ditelusuri, memang aku yang lupa meminta bantuan. Aku merasa cukup mampu berusaha dan menghindari apa yang Allah gak suka. Tapi jelas gagal karena sejak awal aku yang gak minta tolong kepada Allah pemilik jagat raya ini.


Belajar diam perlu waktu, dan aku perlu menyadari emosiku supaya bisa meresponnya dengan tenang.


Aku, dan lapisan kepribadianku yang kedua, yang ketiga, keempat, kelima, dan aku masih belum merasa ini sampai inti. Lapisanku terlampau banyak dan tebal. Ibarat benteng takeshi, mungkin inilah labirin jebakan yang tiap buka pintu isinya monster dan harus cari jalan lain sebelum dijeburin ke kolam air.


Aku masih belajar. Sebelum napas berada di kerongkongan, sebelum bertemu malaikat Munkar & Nakir dipergunakan apa sajakah waktuku, aku rasa belum terlambat untuk mengenal diri. 

Alhamdulillah, Allah kasih pertolongan dengan setiap kejadian yang menimpaku. 

Alhamdulillah, Allah kasih rahmat, hidayah, dan taufiknya untuk terus upgrade ilmu. 

Alhamdulillah, Allah kasih nikmat iman untukku.


Begitu banyak cinta-Nya padaku, padahal sering aku lalai mengingat-Nya.


Maafin aku ya Allah, dan berilah aku kekuatan untuk belajar diam dan menerima semua ketetapan-Mu. 

Dosen Bimbingan Aja Cerminan Diri, Apalagi Jodoh?

Senin, 04 Oktober 2021

Wisuda daring entah sudah angkatan berapa di setiap universitas di negeri ini. Suka cita melepas lelah mengerjakan skripsi dengan sebuah gelar di akhir nama pribadi. Sah jadi alumni, dan siap berkelana mencari kepingan hati. Ada yang lanjut studi, ada yang mengabdi pada suami, ada yang langsung travelling sendiri, kepingan hati yang hanya pribadi yang mengerti.


Melihat adik-adik kelas saya, satu per satu dari instagram story, membuat saya berpikir lagi, oh beginikah saya dulu? Mereka-mereka yang melihat storyku, begini ya rasanya. Ikut senang, ikut gembira dan tertawa dengan shit-post chat yang diunggah. Beberapa orang malah sangat akrab dengan dosbing mereka karena sering diskusi tugas akhir dan mungkin revisi tanpa akhir sampai akhirnya benar-benar selesai menyandang gelar sarjana.


Teringat 2019, saat masih jadi mahasiswa semester akhir.  Pas turun SK bimbingan skripsi, gak nyangka dapet dosen bimbingan yang paling santuy se-kampus. Beliau pernah ngajar di semester awal. Orangnya gak ribet, tugas semua dipermudah, kalau ngajar bahasanya gue-elo, kalau dibilang asik yaa asik-asik aja. Gak susah dihubungi juga, alhamdulillah bimbingan skripsiku cepat dan lancar. Disaat yang lain harus menangis ngerjain skripsi, aku sambil skripsian malah kerja freelance nulis artikel, kadang fotografer nikahan juga. Apa ajalah aku kerjain malah kayaknya. Skripsi tetep jalan, kerjaan juga jalan. Nggak, bukan karena aku hebat, ini Allah yang mau, berkat bantuan Allah semuanya ke-handle meskipun tahun itu lagi patah hati juga.


Bentar....


Kayaknya aku tiap tahun patah hati mulu deh! HAHAHA.


Oke skip. Lanjut dulu.


Ada yang bilang kalau dosen bimbingan adalah cerminan diri. Kalau kamu orangnya peduli, dapet dosen yang peduli. Sampai titik koma aja diperhatiin banget, spacing juga, layout segala macem. Peduli banget. Ada yang gak pedulian, bahkan sampe susah dihubungin dosbingnya padahal mahasiswa udah ngejer-ngejer kayak apaan tau. 


Berhubung aku dapet dosbing yang santai, aku jadi mikir... oh apa aku sebenernya orang yang santai ya? Tapi kalau tengok ke belakang, wow kegiatanku kayak ugal-ugalan deh, aku santai sebelah mananya ya???? Keheranan sendiri pemirsa. Padahal gak perlu heran juga sih. Allah Maha Tahu dengan apa yang aku butuh. Kenyataannya memang aku butuh dosbing yang santai karena kegiatan di luar perkuliahanku enggak santai sama sekali. Bentuk kasih sayang Allah yang bener-bener harus disyukuri sampai bisa selesai hanya dalam waktu beberapa bulan saja. Malahan udah selesai sebelum tanggal pendaftaran sidang, dan hompimpa buat siapa yang mau sidang duluan karena yang bimbingan sama beliau mayoritas udah kelar cepet semua. Kocak ya, berasa main gundu :D


Terkait sama judul, aku mau bilang kepada diriku sendiri, kamu belum berubah banyak dari tahun 2019. Masih kayak bemo kejar setoran, masih belajar banyak dan cepat di satu waktu. Tapi gapapa, tahun ini banyak progres slow living yang udah kamu terapkan juga. Kedepannya, pasti kamu bisa jadi perempuan teduh. Gapapa, ditempa dulu, ditempa terus. Biar makin bagus, biar makin cantik bentuknya, makin kokoh partikel didalamnya. Ikhlas... Biar lega segala sesuatu yang kamu kerjakan jadi bernilai ibadah. Biar hati kamu bahagia.


Kalau buat dapetin dosbing aja harus belajar empat tahun dulu, baru bisa tahu cerminan diri dalam bimbingan skripsi, apalagi buat jodoh yang seumur hidup nanti?



Semangat berproses jadi baik, wahai jiwa-jiwa pejuang... Kuatkan diri, minta pertolongan Allah dalam setiap langkah.

Kamulah Sahabatku, Rezekiku, Nasehatku

Minggu, 03 Oktober 2021
Rezeki nyatanya bukan hanya berupa angka, tapi teman perjalanan di dunia yang mau diajak ke masjid, membaca Al Qur'an, dan mempelajarinya, sudah sangat mewah rasanya.


Lucu ketika aku takut sendirian, sedangkan sejak awal memang terlahir sebagai anak tunggal. Kesepian itu membunuh, dan siapapun tidak suka merasa kesepian. Maka, ketika ada kerabat yang menyambut sapaanku, ada kegembiraan yang paling tidak membuatku sanggup berbuat lebih banyak hal demi menghilangkan kesepian itu.


Aku selalu merasa kayaknya bakal lebih aman buat cerita sama kakak/adik kandung yang sudah kenal dari lahir dibandingkan ke orang terdekat yang bukan sedarah. Kita bisa cerita banyak hal sama teman, tapi rahasia diri yang mungkin dirasa aib belum tentu mereka terima. Hanya keluarga, yang mau gimanapun jeleknya kita tetap menerima apa adanya.


Rezekiku, sebagai anak sematawayang. Berteman sepi, berkawan sendiri. Alhamdulillah masih ada banyak yang peduli. Bahkan ketika tidak sadar menghilang dari story, mereka yang khawatir bertanya kondisi dan posisi. Masyaallah, Allah yang maha baik mengirimkan orang-orang ini untuk membersamaiku ketika lelah dan jenuh dengan duniawi.


Orangtuaku aja kadang gak pernah tanya kabar, ini orang lain yang tanya, bagaimana kabarku? Amankah? Sudah makankah? Sudah beryukur apa hari ini? Dan lain sebagainya.


Terharu.... Ini rupanya wujud penghiburan dari langit atas doa-doa yang kubisikkan tiap waktu. Allah-ku yang baik, terima kasih atas segala sesuatu...


Mungkin sebagai anak tunggal, aku ga paham rasanya rebutan perhatian orangtua. Aku ga paham rasanya harus mengalah pada yang lebih muda. Aku ga paham rasanya diprioritaskan lebih daripada saudara yang lainnya. Aku terbiasa mendapatkan semuanya utuh dan penuh. Karena itu, jadi ketika orang asing butuh, kuberikan semua yang kupunya untuknya. Pun pada yang tidak lagi asing, seperti kawan atau bahkan saudara-saudari dari setiap kawanku.


Karena tidak pernah punya, makanya aku mau tau. Mau tau rasanya jadi kakak, mau tau rasanya punya kakak, mau tau rasanya jadi adik, mau tau rasanya punya adik. Semua peran kulakukan, karena gak pernah punya saudara untuk melakukan hal itu. Hal seperti berbagi perhatian, berbagi pengalaman, berbagai hadiah, berbagi makanan, semua itu hanya kulakukan bersama kedua orangtua dan diri sendiri.


Aku terus mencari orang untuk memenuhi kebutuhan itu. Sampai aku lelah.


People come and go, mereka memang datang dan menghilang. Sudah jadi sunatullah, dan kini bisa mengerti buat gak memikirkan apa yang gak mampu dikontrol oleh diriku. Mereka sudah saatnya pergi, mungkin nanti akan datang lagi, mungkin nanti tidak akan datang sama sekali, mungkin nanti datang ketika butuh, atau tidak akan datang sama sekali karena sudah beda dimensi.


Selama puluhan tahun, baru sekarang tersadar, sahabatku rupanya hanya segelintir. Mereka adalah orang yang Allah kirimkan untuk membuatku merasa bersyukur.


Allah memilih beberapa orang saja untuk terus jadi lonceng peringatan hidupku. Segala sesuatunya baik, bahkan lebih baik karena rasa cinta itu fitrah. Aku bersamamu karena Allah yang mau. Eitss konteksnya persaudaraan, ingeeet.


Senang sekali kalau lihat teman-teman lain pergi bersama saudara-saudari, berceloteh, mungkin ada bertengkar tapi tetap akan saling akur. Terkadang iri karena aku tidak punya hal itu. Tapi dengan jadi anak tunggal, aku bisa lebih kasih perhatian kebanyak orang yang bahkan tidak perlu sedarah untuk saling berbagi.


Terima kasih Allah, udah membuatmu jadi temanku, sebagai pelipur laraku, yang memberi nasehat untukku, dan mendoakanku. Semoga selalu mendapatkan lindungan Allah agar bisa istiqomah dalam kebaikan.


Saudaramu, saudaraku. Semuslim, sedunia, dan sesurga, insyaallah.

Barakallahu fiik.

Berani Menerima Kecacatan Diri Itu Progres Yang Besar

Sabtu, 02 Oktober 2021
Hiruk pikuknya pikiran tidak pernah bisa berhenti seperti kehidupan di kota ini. Ada banyak hal yang semakin dipikir, malah semakin ingin menghindar.

Sejauh apapun lari, aku akan kembali ke titik awal. Belum bisa naik level. Sepertinya memang tidak akan pernah bisa selama aku yang tidak memutus mata rantainya. 

Memaafkan ternyata perkara penerimaan diri. Bukan tentang dia, tapi tentang aku. Konsep menerima kenyataan kalau aku melakukan kesalahan secara sadar menerima pula kesalahan itu, bukan menyalahkannya.


Punya keberanian mengaku dosa adalah skill yang harus terus diasah. Sebab seringnya gengsi menguasai, sampai lupa kalau Yang Maha Kuasa sudah tau sejak awal akan ada kesalahan yang ini. Untuk apa sih repot-repot denial. Capek sendiri kan, sebenernya. 

Sendirian di tempat ini, di mana gak ada peduli tentang siapa diriku, anak siapa, orang mana, pendidikannya apa, ternyata bisa membuatku lebih objektif tentang segala sesuatunya. Hikmah dari Allah ini manis sekali.


Rupanya ini waktunya. Meskipun 2018-2021 jangka waktu yang bukan sebentar, tapi Allah baik banget masih kasih kesempatan untuk bangun dan bertaubat terus. Aku banyak melakukan kesalahan, kecil sampai yang besar. Mungkin bertumpuk, atau entah sedalam lautan, yang jelas rasa syukurku memang sedikit sekali karena merasa tidak beruntung. 


Seringnya menyakiti diri sendiri sampai dipertemukan dengan cermin, lalu aku sadar bahwa aku tidak terima atas perkara yang bagi seluruhnya sudah selesai. Aku memaafkannya, tapi tidak memaafkan diriku sendiri. 


Sebab Allah sayang, tanganku tergerak untuk melakukan pemaafan. Untuk sebuah video yang membimbingku melakukannya, semoga Allah balas kebaikan itu padamu yg mengunggahnya. Aku perlu waktu selama ini untuk menerima satu kesalahanku di masa lalu. 


Jumat, tepat ketika aku telah memaafkan diriku atas satu kesalahan itu, tabir terbuka. Rahasia Allah tentang orang-orang di masa lalu muncul kepermukaan seolah mengucapkan selamat tinggal. Masyaallah... Sebegitu cepatnya.


Mencintai-Nya memberiku ruang yang luas untuk menerima diriku dan kecacatan hidupku. Menerima kalau selama ini aku berbohong kepada diriku, yang mana artinya aku berbohong pada Rabb yang menciptakanku... Aku seperti orang bodoh. 



Melihatnya senyum bahagia gitu ada perasaan lega, namun tetap ank melankolis sepertiku bercucuran air mata. Rupanya ia yang sudah berbahagia itu memang lebih cepat tanggap dengan pertolongan Allah daripada diriku.



Lama sekali aku merespon tanda-tanda-Nya, seperti tuli, seperti buta, seperti orang bodoh karena Allah sudah kasih seluruh rahmat masih aku sia-sia dengan beribu alasan. 



Aku masih perlu waktu, kadang kesalahan di masa lalu itu terasa seperti baru. Kesalahan yang terlalu nyata untuk dihindari, tapi terlalu letih untuk diterima sendiri. Masih pengecut rupanya diriku ini. Tapi biarlah, aku kini jadi cukup berani bercermin dan melihat kesalahanku. Biarlah aku di sini dulu, berteman dengan kesalahan-kesalahan lain supaya nantinya aku tidak malu lagi jika bertemu denganmu. 

Malu. 

Hal yang bikin lama memaafkan karena perasaan malu. Entah kesalahannya terlalu tabu, atau aku yang gak mau ngaku sama kejadian yang udah terjadi di masa lalu. 


Hm... Kalo dulu harus berpikir untuk berubah demi kepentingan bersama, kayaknya yang aku butuh itu berubah demi kepentingan sendiri dulu deh.


Gimana bisa mencintaimu, kalau aku belum mencintai-Nya?


Menghayati Rasa Gelisah

Jumat, 01 Oktober 2021
Yang tidak nampak, bukan berarti tidak ada. Ia hanya pandai menyembunyikan saja.

Memasuki bulan Oktober.


Kalau Indonesia adalah negara empat musim, saat ini periode pertengahan antara musim gugur dan musim dingin. Suhu menurun alias cuaca lagi dingin-dinginnya kayak sikap dia ke kamu pas menjelang mau putus haha. Tapi sebenernya, Indonesia lebih canggih lagi sih, karena negara ini punya lebih dari empat musim. Musim hujan, musim kemarau, musim duren, musim rambutan, musim mangga, dan musim-musim lainnya. Keren. 


Sejak bulan kemarin sampai nanti di akhir bulan Oktober ini, pekerjaan dan sederet to do list sudah panjang. Bahkan daftar antrian pekerjaanku makin nggak karuan dan cancel pulang berkali-kali, qodarullah. Mungkin Allah ngerti hatiku kalo aku pulang bakal ngelakuin apa dan kemana, jadi sebelum itu terjadi, Allah kasih pantangan berupa rentetan pekerjaan. Kayaknya ada mimpi juga, cuma gak gitu ingat, sebuah petunjuk biar lebih sabar aja kali di China Town. Entah. 


Nah karena sibuk gini, ada beberapa hal yang jadi terlalu jelas dipandangan mata. Ini tentang eksistensi manusia dan konversinya kepada uang. Nggak lagi ngomongin siapa-siapa dalam artian spesifik, beneran konversi dari followers ke payment yang bikin amazing. Oh woowww, dunia ini orang-orang pengen kaya raya ya? Pada pengen banyak uang?

Nggak dipungkiri kalo mayoritas butuh uang buat beli segala macam kebutuhan. Uang bisa kasih kamu pilihan makanan yang lebih baik dan lebih sehat, atau lebih mewah kalo emang kamu orangnya glamour. Uang bisa kasih pilihan akses, ke rumah sakit yang lebih baik, kalo kamu sakit supaya dapat perawatan cepat dan lebih akurat. Uang bisa kasih banyak pilihan ke dalam kehidupan. 


Semuanya hal perlu uang, tapi uang gak bisa memenuhi semua hal.


Salah satunya adalah perihal hati.


Somehow, aku nggak merasa ini adalah hal yang aku mau. Bukan ini tujuanku. Tapi entah kenapa Allah yang bawa aku kesini. Allah yang mau. Dan meskipun berkali-kali minta distop, nyatanya Allah cukupkan semua hal tentang kebutuhan. Tiap ada kesulitan, langsung dimudahkan pula oleh-Nya.


Meskipun awalnya memang niatku untuk cari uang di China Town, tapi ketika kamu bisa melihat hal lebih jelas karena berada di dalam sana, rasanya uang itu nggak penting-penting amat. 


Tentu aku kagum dengan manusia-manusia di kantor, yang bisa membuat iklim sendiri agar manusia lain terhujani informasi dan berujung pada menjual sesuatu untuk dibeli followers.


Aku rasa cukup menarik buat ditulis. Mungkin suatu hari bakal jadi topik diskusi seru yang aku akan angkat lagi, atau biarlah jadi sebuah isu yang kutulis disini saja.


Pekerjaan tuh, kayak pisau. Kalo pakenya bener, bisa jadi koki. Kalo pakenya salah, malah kayak film tragedi 


Jujur dibandingkan pekerjaanku sebelumnya, China Town kasih akses buat upgrade diri lebih banyak. Aku lebih leluasa bereksplorasi dari segi desain, punya banyak waktu untuk belajar hal lain, baca buku2 keislaman yg selama ini gak pernah aku baca (biasa baca novel sama webtoon lol apa itu buku fiqh),  aku jadi mengerti tentang cara mengendalikan orang lewat kata-kata. 



Dua sisi yang bikin gelisah ada pada urusan akal dan prinsip. Memang sih tidak ada yang dilanggar sama sekali. Tapi berapa lama aku bertahan untuk sesuatu yang setengah hati? Apa sih yang bikin gelisah gak berkesudahan ini? Apa karena jadi muslim sendiri dan khawatir terbawa arus? Khawatir karena menjadikan noni sebagai pemimpin? Atau karena sudah terlalu lama tidak pulang ke rumah? 

Allah... mungkin udah saatnya aku ketemu orang lain yang lebih berilmu daripada sendirian menghayati kegelisahan.

Modal Ngapalin Quran, Dapet Semua Yang Lagi Dibutuhin

Selasa, 28 September 2021
Moment ter-masyaallah tabarakallah itu selalu ada tiap hari. Alhamdulillah, Allah kasih taufik dan hidayah, semoga selalu istiqomah dalam kebaikan tanpa kesombongan. 

Awal di China Town, sering merasa sedih dan gelisah sendiri. Rasanya cuma pengen pulang karena di rumah semuanya ada. Ada ibu yang diajak ngobrol, ada ayah yang bisa anterin kemana-mana, semua supermarket bisa diakses mudah, dan sederet alasan lain yang bikin betah di rumah. Sedangkan di sini tidak ada apapun yang bisa bikin betah, selain keheningan di ruang kamar.

Allah maha baik, dan lebih tau daripada diriku sendiri. Aku cuma percaya kalo aku datang ke sini bukan sia-sia, Allah yang gerakin. Jadi meskipun nyaris ambruk karena hal-hal berkaitan hati, pada akhirnya melepaskan diri dari jeratan nafsu sendiri bisa melegakan. Sudah kupilih konsekuensi yang paling aku mampu jalani, semenjak ia memilih pergi sementara. Entah akan kembali atau tidak, aku tidak tau. Pun aku akan kembali atau tidak, aku juga tidak tau. Saat ini yang ku tau hanyalah berserah diri dan berbuat baik.

Kebaikan yang paling mudah dilakukan adalah membaca Qur'an. Setiap hurufnya mengandung 1 kebaikan. Aku ada ingat hadist yang bilang, iringilah perbuatan buruk dengan perbuatan baik, niscaya keburukan itu sirna dan tergantikan oleh kebaikan. Maka yang kulakukan kini adalah mengiringi keburukanku dengan hal baik, mudah-mudahan Allah gantikan perbuatan buruk yg pernah kulakukan dengan kebaikan. Semoga Allah tutup aib-aib dari masing-masing kita.

Hidayah itu mahal, dan alhamdulillah wa syukurillah ketika kamu mendapatkannya, jangan lupa minta agar tetap diberi hidayah terus sama Allah. Beberapa minggu ini momen masyaallah sering kujumpai secara nyata.

Ketika aku lapar, ada makanan yg mendatangiku. Ketika butuh baju, ada yang memberiku secara cuma-cuma. Ketika butuh penghiburan, ada kawan yang bersedia mengantar kesini dan kesana. 

Aku bahkan baru mendekati Quran, belum seperti para hafidz/hafidzah yang menghapalkan kitabullah tapi Allah kasih semua yang aku butuh masalah perduniawian ini. Bagaimana kalau aku jadi seorang penghapal Al-Qur'an? Mungkin lebih banyak kemudahan lagi yang akan didapatkan, mengingat orng yang dekat Al-Qur'an jiwanya sangat tenang. 



Capek2 mikirin gimana caranya punya duit buat beli segala macam kebutuhan. 


Kalo ternyata dengan duduk diam dan menghapal quran, semua kebutuhan datang sendiri, kenapa harus pilih jalan yang merepotkan ya?


Semoga Allah senantiasa menjaga niat-niat baik dariku, darimu, dan memberimu ketenangan dalam menghadapi segala sesuatu.


Barakallahu fiik, jangan lupa senyum! :) 

Untuk Pejuang yang Kelelahan

Minggu, 26 September 2021
Setiap hari tidak ada bedanya. Memang tidak hampa, tapi tetap tidak berasa. Pokoknya yang ia tahu, hari ini harus melakukan sesuatu. Ada to do list yang harus diselesaikan. 

Sesekali mungkin ia menikmati, ikut tertawa dan bahkan membuat sebuah candaan dalam lingkaran itu. Ia merasa baik-baik saja, sejauh ini.

Tapi banyak waktu yang ia habiskan untuk merenung. Terlalu banyak hal yang terasa salah meskipun itu adalah pilihan yang ia utarakan untuk masa depan. Ia hanya ingin lebih baik daripada dirinya yang dulu, tapi mengapa kini makin rumit?


Sekeras apapun mencoba mengerti, dan menerima takdir yang ada, semakin tersiksa ia hingga tidak bisa lagi diungkapkan. Rasanya ingin berhenti dari semua ini dan hanya memandang langit saja, mengosongkan pikiran.


Ingin sekali merengek pada orang yang ia kehendaki, memintanya untuk mengerti, menguatkannya sekali lagi, tapi terlalu tinggi harga diri untuk kembali.


Untuk pejuang yang kelelahan,
istirahatkanlah hatimu dari apa-apa yang terkunci gengsi. Tidak ada nasehat apapun untukmu, karena dirimu lebih mengerti apa yang sebenarnya paling diinginkan. Lupakan tentang kata mereka, lupakan tentang bagaimana dan kenapa.

Kamu, sedang tidak baik-baik saja, dan kali ini, kawanmu hanyalah doa-doa yang bisa kamu bisikkan dalam sujud. Biarkan hatimu bicara se-apa-ada-nya pada Rabb yang menciptakanmu. Kamu lemah dihadapan-Nya, dan memang benar begitu, sebab kamu adalah hamba dari Tuhanmu. Biarkan matamu jadi panas karena hatimu terlalu sesak dipenuhi keinginan yang tidak tercapai. Biarkan tanganmu bergetar karena menahan beban tubuhmu ketika terlalu lama bersujud. Biarkan. 


Biarkan semuanya bergerak sesuai ketetapan-Nya. Jangan biarkan hatimu dikuasai oleh amarah yang berlarut-larut.


Kamu sedang lelah, beristirahatlah dulu. Tenangkan hati, dan lihat bagaimana Allah bantu menyelesaikan ikatan-ikatan yang mencekikmu, hingga pada akhirnya lisan hanya mampu berucap syukur. 


Untuk pejuang yang kelelahan, tenanglah. Semua hal bisa kembali ke titik nol jika Allah mau, dan bisa jadi ke titik tertinggi jika dikehendaki-Nya. Ambil jeda untukmu merefleksikan diri, nikmati apa yang Allah beri, dan pahami bahwa apapun kesalahannya pintu taubat masih terbuka jika kita masih ada di bumi.


Tenanglah, wahai pejuang... Jadi qowwam tidak pernah mudah. Jadi pemimpin tidak mungkin biasa-biasa saja. Kamu luar biasa, kita adalah orang-orang pilihan. Mundur selangkah, untuk loncat dua anak tangga itu sah aja kok.

Semoga ketenangan selalu Allah berikan pada kita. Barakallahu fiik.