Top Social

cerita-cerita untuk dikenang

Berani Menerima Kecacatan Diri Itu Progres Yang Besar

Sabtu, 02 Oktober 2021
Hiruk pikuknya pikiran tidak pernah bisa berhenti seperti kehidupan di kota ini. Ada banyak hal yang semakin dipikir, malah semakin ingin menghindar.

Sejauh apapun lari, aku akan kembali ke titik awal. Belum bisa naik level. Sepertinya memang tidak akan pernah bisa selama aku yang tidak memutus mata rantainya. 

Memaafkan ternyata perkara penerimaan diri. Bukan tentang dia, tapi tentang aku. Konsep menerima kenyataan kalau aku melakukan kesalahan secara sadar menerima pula kesalahan itu, bukan menyalahkannya.


Punya keberanian mengaku dosa adalah skill yang harus terus diasah. Sebab seringnya gengsi menguasai, sampai lupa kalau Yang Maha Kuasa sudah tau sejak awal akan ada kesalahan yang ini. Untuk apa sih repot-repot denial. Capek sendiri kan, sebenernya. 

Sendirian di tempat ini, di mana gak ada peduli tentang siapa diriku, anak siapa, orang mana, pendidikannya apa, ternyata bisa membuatku lebih objektif tentang segala sesuatunya. Hikmah dari Allah ini manis sekali.


Rupanya ini waktunya. Meskipun 2018-2021 jangka waktu yang bukan sebentar, tapi Allah baik banget masih kasih kesempatan untuk bangun dan bertaubat terus. Aku banyak melakukan kesalahan, kecil sampai yang besar. Mungkin bertumpuk, atau entah sedalam lautan, yang jelas rasa syukurku memang sedikit sekali karena merasa tidak beruntung. 


Seringnya menyakiti diri sendiri sampai dipertemukan dengan cermin, lalu aku sadar bahwa aku tidak terima atas perkara yang bagi seluruhnya sudah selesai. Aku memaafkannya, tapi tidak memaafkan diriku sendiri. 


Sebab Allah sayang, tanganku tergerak untuk melakukan pemaafan. Untuk sebuah video yang membimbingku melakukannya, semoga Allah balas kebaikan itu padamu yg mengunggahnya. Aku perlu waktu selama ini untuk menerima satu kesalahanku di masa lalu. 


Jumat, tepat ketika aku telah memaafkan diriku atas satu kesalahan itu, tabir terbuka. Rahasia Allah tentang orang-orang di masa lalu muncul kepermukaan seolah mengucapkan selamat tinggal. Masyaallah... Sebegitu cepatnya.


Mencintai-Nya memberiku ruang yang luas untuk menerima diriku dan kecacatan hidupku. Menerima kalau selama ini aku berbohong kepada diriku, yang mana artinya aku berbohong pada Rabb yang menciptakanku... Aku seperti orang bodoh. 



Melihatnya senyum bahagia gitu ada perasaan lega, namun tetap ank melankolis sepertiku bercucuran air mata. Rupanya ia yang sudah berbahagia itu memang lebih cepat tanggap dengan pertolongan Allah daripada diriku.



Lama sekali aku merespon tanda-tanda-Nya, seperti tuli, seperti buta, seperti orang bodoh karena Allah sudah kasih seluruh rahmat masih aku sia-sia dengan beribu alasan. 



Aku masih perlu waktu, kadang kesalahan di masa lalu itu terasa seperti baru. Kesalahan yang terlalu nyata untuk dihindari, tapi terlalu letih untuk diterima sendiri. Masih pengecut rupanya diriku ini. Tapi biarlah, aku kini jadi cukup berani bercermin dan melihat kesalahanku. Biarlah aku di sini dulu, berteman dengan kesalahan-kesalahan lain supaya nantinya aku tidak malu lagi jika bertemu denganmu. 

Malu. 

Hal yang bikin lama memaafkan karena perasaan malu. Entah kesalahannya terlalu tabu, atau aku yang gak mau ngaku sama kejadian yang udah terjadi di masa lalu. 


Hm... Kalo dulu harus berpikir untuk berubah demi kepentingan bersama, kayaknya yang aku butuh itu berubah demi kepentingan sendiri dulu deh.


Gimana bisa mencintaimu, kalau aku belum mencintai-Nya?