Top Social

cerita-cerita untuk dikenang

Satu yang Menjadi Dua

Jumat, 16 Agustus 2019
Mereka memutuskan untuk pergi.

Jauh-jauh pernah saling berkontemplasi, meramu rasa, meracik bahagia, jadi sia-sia saja setelah lewat tahun terakhir ini. Dua manusia yang dulu sempat berjanji untuk tidak mengecewakan, pada akhirnya merasakan pahit buah kecewa itu.

Tahunan menjadi waktu mereka berdua untuk saling mencinta, sebagai kekasih yang mengasihi secara hening tanpa publikasi, langsung bicara tanpa perantara, kini hanya jadi kisah asmara yang usai bahkan sebelum sadar bahwa masih tersisa cinta di hati kedua insan ciptaan Yang Maha Kuasa.

Menggantung harap memang tak pernah ada rehat, tak akan selesai hembusan angin untuk menjatuhkan tali dari gantungan harap itu. Harusnya mereka sadar, bahwa kekecewaan itu pasti, yang semu hanyalah kehadiran mereka sendiri.

Sayang sekali keduanya tidak bersiap diri dengan datangnya kekecewaan. Padahal beberapa badai sudah dilalui dengan cukup baik, meskipun tidak baik juga ketika mengingat betapa ringsek dan bonyoknya sisi-sisi kewarasan dua manusia yang kini sedang menunduk di depan meja hijau.

"Sekali lagi, apakah anda berdua sudah yakin dengan keputusan ini?"

Sang hakim bertanya pertanyaan yang sama sejak minggu lalu, sebuah upaya untuk menghentikan laju perjalanan yang dipangkas sendiri oleh kedua insan yang dulu saling mencintai.

Tidak ada isak tangis, sang pria hanya mengangguk untuk mempercepat proses sidang. Sedangkan sang wanita mengatakan YA dengan tegas.

Sang pria menatap wajah wanita yang selama ini ia cintai itu dengan nanar, hari ini semua perasaannya harus ia biarkan pergi jauh, tidak boleh ada yang tersisa lagi barang secuil semisal memori tentang matanya yang besar dan bulat itu ketika menatapnya sebelum tidur.

Sang wanita yang tahu sedang ditatap pria itu tak mau ambil peduli. Sudah cukup ia mencintainya, hari ini semua perasaannya harus ia biarkan menguap. Tidak boleh bersisa barang sedikit saja. Meskipun sebagai perempuan ia pasti akan terus mengingat-ingat apapun yang pernah terjadi pada keduanya, termasuk pada dirinya sendiri yang menyukai pria itu lebih dulu.

Proses perpisahan itu kemudian selesai begitu saja dengan penandatanganan dan cap stempel dari kantor agama. Keduanya resmi berpisah, menyandang gelar baru sebagai janda dan duda dengan alasan ketidak cocokan begitu keluar dari ruangan yang penuh dengan kursi kayu.

"Kau baik-baik saja kan?" Sang pria bertanya selepas keduanya memegang selembar kertas perceraian itu. "Tanpa aku?" Lanjutnya yang ia suarakan dalam hati.

"Bagaimana bisa?" Jawab sang wanita dalam hati.

"Tentu." Jawab sang wanita dengan tenang. "Aku akan baik-baik saja, kau jaga diri sendiri saja. Tidak perlu mengurusku lagi."

Sang pria tersenyum yang dikulum, sebuah jenis senyuman pria-pria patah hati. Keputusan ini sudah bulat mereka berdua setujui, entah apa yang jadi pemicu dan entah bagaimana mereka akhirnya setuju, pada saat ini keduanya telah berpisah. Sang wanita itu menghela napas.

"Apakah kita perlu merayakan perpisahan ini seperti saat kita merayakan perkawinan dua tahun lalu?" Tanya sang wanita.

Mata besar dan bulat milik wanita itu membuat sang pria merasa tertarik untuk mengikuti ide gilanya. Sebuah perasaan tidak bisa berakhir meskipun kantor agama meresmikan sebuah akhir dari dua manusia yang pernah saling jatuh cinta.

"Kau harus bahagia dengan kebahagiaanmu sendiri."

Tiba-tiba saja sang pria mengucapkan kalimat itu. Ia menatap wajah sang wanita yang kini ikut menatap wajahnya dari balik kerudung hitamnya.

"Kau sudah bahagia?" Sang wanita bertanya yang dijawab sebuah senyuman dari pria disampingnya.

Ada hening yang jelas-jelas menghimpit sesak di hati keduanya.

"Kita sampai di sini saja."

"Ya, kita tidak akan kemana-mana lagi."

"Jangan rindukan aku, jika rindu lebih baik pura-pura tidak tahu saja."

"Baiklah. Jangan kangen aku juga, kau masih tidak bisa merangkai paralel listrik kalau konslet."

"Kalau kau kangen telur balado, bisa pesan di rumah makan Padang Sederhana. Jangan hubungi aku."

"Kau bisa telepon tukang untuk membenarkan pompa air."

"Kau boleh unfollow sosial media dan menghapus nomorku."

"Sudah kulakukan, tenang saja."

Keduanya terdiam lagi. Kali ini sedikit sesak tidak akan membuat mereka kehilangan kewarasan untuk saling mencaci seperti sebelumnya.

"Maafkan aku-"

"Maafkan aku," sang pria mendahului suara sang wanita.

Mengetahui apa yang akan keduanya bicarakan malah membuat suasana canggung. Sepertinya mereka masih kompak, keduanya saling membutuhkan, masih bisa bahagia jika mau berusaha lebih keras. Namun tidak ada yang bersuara setelah kalimat yang terpotong tadi. Keduanya memilih untuk saling bersalaman dan meninggalkan tempat ini dengan kendaraan masing-masing.

Kini dua manusia itu kembali menjadi dua orang asing di kota yang mereka pilih sebagai rumah.

Kepingan kisah harapan dan doa-doa yang pernah mereka lalui bersama sudah menemui rengat waktu. Mungkin mereka yang terlalu egois atau semesta yang mempermudah perpisahan keduanya. Tidak ada yang tahu betapa dalam pemikiran seseorang, juga tidak ada yang tahu isi hati seseorang. Hanya ia dan Tuhan. 

Karena meski bisa menikahi seseorang, kita belum tentu memiliki hatinya.