Top Social

cerita-cerita untuk dikenang

Menghayati Rasa Gelisah

Jumat, 01 Oktober 2021
Yang tidak nampak, bukan berarti tidak ada. Ia hanya pandai menyembunyikan saja.

Memasuki bulan Oktober.


Kalau Indonesia adalah negara empat musim, saat ini periode pertengahan antara musim gugur dan musim dingin. Suhu menurun alias cuaca lagi dingin-dinginnya kayak sikap dia ke kamu pas menjelang mau putus haha. Tapi sebenernya, Indonesia lebih canggih lagi sih, karena negara ini punya lebih dari empat musim. Musim hujan, musim kemarau, musim duren, musim rambutan, musim mangga, dan musim-musim lainnya. Keren. 


Sejak bulan kemarin sampai nanti di akhir bulan Oktober ini, pekerjaan dan sederet to do list sudah panjang. Bahkan daftar antrian pekerjaanku makin nggak karuan dan cancel pulang berkali-kali, qodarullah. Mungkin Allah ngerti hatiku kalo aku pulang bakal ngelakuin apa dan kemana, jadi sebelum itu terjadi, Allah kasih pantangan berupa rentetan pekerjaan. Kayaknya ada mimpi juga, cuma gak gitu ingat, sebuah petunjuk biar lebih sabar aja kali di China Town. Entah. 


Nah karena sibuk gini, ada beberapa hal yang jadi terlalu jelas dipandangan mata. Ini tentang eksistensi manusia dan konversinya kepada uang. Nggak lagi ngomongin siapa-siapa dalam artian spesifik, beneran konversi dari followers ke payment yang bikin amazing. Oh woowww, dunia ini orang-orang pengen kaya raya ya? Pada pengen banyak uang?

Nggak dipungkiri kalo mayoritas butuh uang buat beli segala macam kebutuhan. Uang bisa kasih kamu pilihan makanan yang lebih baik dan lebih sehat, atau lebih mewah kalo emang kamu orangnya glamour. Uang bisa kasih pilihan akses, ke rumah sakit yang lebih baik, kalo kamu sakit supaya dapat perawatan cepat dan lebih akurat. Uang bisa kasih banyak pilihan ke dalam kehidupan. 


Semuanya hal perlu uang, tapi uang gak bisa memenuhi semua hal.


Salah satunya adalah perihal hati.


Somehow, aku nggak merasa ini adalah hal yang aku mau. Bukan ini tujuanku. Tapi entah kenapa Allah yang bawa aku kesini. Allah yang mau. Dan meskipun berkali-kali minta distop, nyatanya Allah cukupkan semua hal tentang kebutuhan. Tiap ada kesulitan, langsung dimudahkan pula oleh-Nya.


Meskipun awalnya memang niatku untuk cari uang di China Town, tapi ketika kamu bisa melihat hal lebih jelas karena berada di dalam sana, rasanya uang itu nggak penting-penting amat. 


Tentu aku kagum dengan manusia-manusia di kantor, yang bisa membuat iklim sendiri agar manusia lain terhujani informasi dan berujung pada menjual sesuatu untuk dibeli followers.


Aku rasa cukup menarik buat ditulis. Mungkin suatu hari bakal jadi topik diskusi seru yang aku akan angkat lagi, atau biarlah jadi sebuah isu yang kutulis disini saja.


Pekerjaan tuh, kayak pisau. Kalo pakenya bener, bisa jadi koki. Kalo pakenya salah, malah kayak film tragedi 


Jujur dibandingkan pekerjaanku sebelumnya, China Town kasih akses buat upgrade diri lebih banyak. Aku lebih leluasa bereksplorasi dari segi desain, punya banyak waktu untuk belajar hal lain, baca buku2 keislaman yg selama ini gak pernah aku baca (biasa baca novel sama webtoon lol apa itu buku fiqh),  aku jadi mengerti tentang cara mengendalikan orang lewat kata-kata. 



Dua sisi yang bikin gelisah ada pada urusan akal dan prinsip. Memang sih tidak ada yang dilanggar sama sekali. Tapi berapa lama aku bertahan untuk sesuatu yang setengah hati? Apa sih yang bikin gelisah gak berkesudahan ini? Apa karena jadi muslim sendiri dan khawatir terbawa arus? Khawatir karena menjadikan noni sebagai pemimpin? Atau karena sudah terlalu lama tidak pulang ke rumah? 

Allah... mungkin udah saatnya aku ketemu orang lain yang lebih berilmu daripada sendirian menghayati kegelisahan.