Top Social

cerita-cerita untuk dikenang

Cermin Berdebu di Sudut Ruang

Kamis, 04 April 2024

Dan kesedihan itu tampak bagi mereka-mereka yang berada di atas levelnya. Ia sudah tidak bisa bersembunyi, meskipun ingin. Lagi-lagi seperti yang gurunya pernah bilang, ia adalah buku yang terbuka. Sejujurnya, selama puluhan tahun pun, ia tidak bersungguh-sungguh untuk menyembunyikan identitas, tidak pula bercita-cita jadi manusia misterius. Ia membuka diri, selalu menerima peluang apapun, nrimo ing pandum, kalau pepatah jawa yang ia ketahui. Tapi entah kenapa diamnya selalu dikonotasikan sebagai misteri, yang padahal kalau saja mereka mau usaha sedikiiit saja untuk cari tahu, ia sudah jujur dengan dirinya sendiri. Melalui tulisannya yang sebulan sekali di publikasi, melalui cuitan kurang dari 150 karakter di sosial media, melalui postingan gambar yang ia pikirkan baik-baik bagaimana supaya setiap unggahannya punya makna ganda sehingga tidak bisa menebak kemana arah hati penulisnya dan bisa menilai siapa saja orang yang benar-benar mengenalnya.


Ia sudah melalui seperempat abad yang penuh tekanan.


Di umurnya yang 26 ini, ia bersungguh-sungguh untuk selesai dengan semua tekanan yang pernah diterimanya itu dengan lapang dada. Ia hanya ingin menikmati umur 27nya nanti dengan api semangat yang bukan untuk memuaskan ekspektasi semua orang terdekatnya. Bukan pula untuk impresi orang-orang yang bahkan ia tidak mengenalnya. Bukan untuk menarik simpati orang yang sedang ia sukai. Ia juga tahu bahwa jiwanya sudah lelah, tubuhnya tidak mau diajak kerjasama untuk sesuatu yang tidak ada jiwanya.


Ia merasa usang. Entah karena ia diselimuti debu, atau memang seharusnya ia tidak berada di ruangan ini lagi. Dengan embun yang kini berada dikedua matanya, lirih ia meminta petunjuk pada Yang Maha Cinta. Untuk apapun yang sedang ia kerjakan di umurnya yang ke-26 ini, semoga lekas menemukan jawaban atas segala risau. Ia paham bahagia bukan hal absolut, maka untuk menutup malam ganjil yang diganjar seribu bulan jika mendapatkannya, harapan mengenai jiwa yang tenang dan seorang kawan seperjalanan menunju-Nya diselipkan. 


Kepada hidup yang ia yakin dalam genggaman-Nya, bersuka-citalah engkau tanpa perlu menyabotase diri.

Jakarta, Kota Asing Untuk Orang Asing

Sabtu, 30 Maret 2024

Seperti baru kemarin aku misuh dalam hati saat keluar dari Stasiun Gambir tentang betapa berisiknya kota Jakarta. Ternyata kejadian itu sudah hampir sepuluh tahun lalu, dan aku masih betah berada di dalamnya. Ini mungkin terlalu personal dan panjang untuk dijabarkan secara lisan ketika teman-teman sekolahku bertanya "kok betah banget sih di Jakarta?" di momen-momen reuni atau bukber. 


Sebagai gambaran, aku lahir di kota yang sering diromantisasi dengan kota yang dibuat ketika Tuhan sedang tersenyum. Kota wisata padat penduduk yang sampai aku menulis hari ini masih banyak pencopetnya. Besar dan menjalani kehidupan wajib belajar 12 tahun di kota penuh panganan laut, kota udang. Seluruh 'pertama kali' di masa mudaku ada di kota yang panas wilayahnya mampu bikin gosong kulit tangan. Mulai dari pertemanan, pemikiran, naksir, patah hati, kehilangan, dan lain-lain yang membentuk pribadiku hingga kini. Aku sayang mereka semua, yang hadir dan yang yang telah pergi dari hidupku di masa muda. Kini, 9 tahun sudah kuhabiskan masa dewasa awalku di kota metropolitan yang penuh tekanan. 


Tahun depan bulan delapan, aku akan menyentuh titik sepuluh tahun tinggal di kota pusat pemerintahan Indonesia ini. Yah, belum tahu juga sih, apakah tahun depan aku masih di Jakarta atau tidak, menimbang berbagai kemungkinan dan keinginan yang selama ini sudah aku simpan lama. Ngomong-ngomong, meskipun sudah 9 tahun, aku masih gak suka loh sama Jakarta. Buat aku yang sudah semi-nomaden sejak lahir aja, ngerasa kalau Jakarta terlalu cepat perubahan dan harus mau ikut cepat karena ada di dalam sistemnya. Capek loh terus-terusan harus cepat. Apalagi yang udah terbiasa dengan slow-pace life, pasti lebih capek. Apalagiii misalnya dia gak pernah keluar dari kota kelahirannya, terus datang ke kota metropolitan ini, kayaknya bakal banyak pengalaman hidup yang bikin nangis, dan mengerti istilah Jakarta itu kejam (sebenernya dianggap kejam karena pada bodo amat aja menurutku). Tapi Jakarta itu kayak Photoshop, punya banyak layer, bisa dipakai efek apapun per layernya biar hasilnya lebih bagus.


Buatku, yang kesulitan menganggap sebuah tempat menjadi tempat pulang, Jakarta lumayan ideal untuk 'pulang' daripada harus kembali ke tempat dimana aku pernah belajar selama 12 tahun di dalamnya, atau bahkan lebih baik lagi daripada pulang ke tempat kelahiranku yang terlalu ngurusin orang lain di kehidupan bermasyarakatnya. Ini bias, aku paham. Terlalu lama tinggal di tempat individualisme tinggi, sedikit banyak pasti mengubah caraku berpikir soal tempat pulang. 


Masalah yang terjadi adalah, rencana jangka panjangku gak pernah mau ada di tiga kota yang pernah aku tinggali, tapi tidak tahu harus menetap di mana.


Mereka bilang aku terlalu betah di Jakarta, padahal aku sendiri gerah dan ingin pergi dari sini sejak lama. Tapi yaa gimana dong? Jakarta tuh tempat persembunyian terbaik sejauh ini. Kota besar berpotensi sesama warganya tidak perlu saling mengenal dan membuka diri terlalu banyak. Setidaknya, tidak ada orang yang rewel dengan segala idealisme ataupun paradoks yang aku bawa di kepala kan? Kalau aku harus menetap di kota tempat orangtuaku tinggal, terlalu banyak mata dan mulut yang menekanku untuk membuka diri.


Apa salahnya membuka diri? Gak ada kok. Aku aja yang gak mau. Aku maunya membuka diri ke orang-orang tertentu yang aku pilih aja. Atau orang-orang yang bisa 'membaca' diriku tanpa perlu aku yang bicara. Idealismeku yang satu itu, pasti tidak semua mau mengerti. Atau jika mau mengerti pun, kebanyakan akan menyindir, membuatku seolah-olah punya pemikiran aneh seperti alien (padahal alien juga, siapa tau ga aneh pemikirannya kan?).


Makanya, aku bilang Jakarta itu tempat sembunyi paling ideal buat orang-orang yang tidak punya tempat pulang. Lokasi bermain paling besar untuk memenuhi ego orang-orang kecil yang ingin nampak besar. Cuma, saat ini tuh yang jadi pertanyaanku, mau sampai kapan bersembunyi di kota metropolitan yang berisik ini? 


dan aku masih belum menemukan jawabannya.











Mungkin, aku perlu berkunjung ke kota lain selain Pulau Jawa dan negara ini untuk menemukan jawabannya? Atau cukup dengan satu orang penting dan pertanyaan itu akan terjawab? Wallahu'alam. Kita lihat episode berikutnya ya, aku juga penasaran.

To Take A Decision..

Senin, 18 Maret 2024

Day6 was comeback today. In early spring when the clouds still grey and cold might catch us, they give me some kind of warmness. Enough with opening, let's talk more about something I really consider this years. Maybe not a good story in english, but I try my best.


So, if 5 years later i'll comeback reading this, please remember this post was actually written when you have done japan course and wanting to work more but need sleep because you need sahur eat some protein. I'll make it fast since what i wanna write is only about how hard i'm when i saw the two option and make a decision right in front of my face in the mean time.


To me, who always thinking about people first, to take a small steps is scary things. Move is gambling. And if I stay, I know I'll die. To me, have a courage to choose whatever i wanna take is never be in my top of mind. I'll probably choose something based on whatever my precious people give an advice. My inner circle. Which means, my family. 


But last month, when I have mentally down and take a impulsive chat to ask my parents separately, i just found out they're never push me to do whatever i do today. Then why i need to do this? I asked myself day by day. Why I need to take responsibility when actually i didn't have to?


I start to reframing, what is what and why is why after that. I mean, i think i do this for them, to make them feel glad I actually grown up, I wanna make them happy. But after a long convo they're never what i thought before. The meaningless i felt is validated by them. 


So, maybe in the future you'll more sad, or more overthinking, or maybe you more happy than this. I didn't know, but like day6 comeback song today, 


The future that you're welcoming with me might be risky
But there might also be tear-filled impassion

I know your decision was not easy
It's my part to make you not regret it
If you're willing

Welcome to the show!


Really hope your heart is fulfilled by the warmness and hugged by person that you love, back to the God and rounded by saleh-salehah, no more hair loss and can eat anything without heavy feeling. Back as happy as a new person. Now you can lean on me, tu. You don't have to take all the things alone. The me in you is brave enough to let go. It's risky I know, but this is the only thing I know to keeping us sane and know what I really passionate. The alarm is ringing......

To me, and the world they said I deserve

Sabtu, 09 Maret 2024

Tengah malam yang damai diiringi dengan ramainya pikiran dan tumpukan pekerjaan yang enggan diselesaikan. Hari ini sudah sabtu, 10 jam lagi keretaku tiba untuk membawa pergi dari ruangan ber-AC ke rumah berisikan ibu dan ayah didalamnya. Ada haru, juga sebagiannya sedih karena ingat cerita-cerita di masa lalu.


Untuk menjadi aku yang hari ini mereka bilang sebagai anak baik, jutaan malam perlu dilewati dengan hembusan frustasi yang diam-diam kulakukan ditengah terpaan ekspektasi sejak kecil. Anak tunggal, perempuan, berjilbab, akademik yang baik, relasi yang mendukung, orang tua yang lengkap dan tegas, aku punya kelebihan-kelebihan itu semua. Dan itu semua menjadi bumerang untuk mengharapkan aku, minimalnya, tidak mengecewakan, siapapun itu, karena mereka semua, mendoakan kebaikan untukku.


Lantas sedih untuk apa?


Dia yang dulu bilang janji untuk menemaniku-pun bertanya hal yang sama. Sedihin apa lagi sih? katanya. Lalu marah-marah dan mengungkit bahwa aku kurang bersyukur atas segala privilege itu. Dan ceramah-ceramah lain soal melihat terlalu keatas dan kebanyakan online di sosmed. Aku saat itu merespon dengan tertawa saja. Lalu diam-diam membuat sebuat private post di line yang hanya bisa dibaca diri sendiri tentang betapa menyeramkannya sebuah lubang hitam itu. Sesuatu yang menarik habis energi bahagiaku sampai yang tersisa hanya kesedihan, aku gak layak dan gak capable untuk sesuatu itu. Lantas ketika dia yang dulu bilang janji untuk menemaniku itu minta maaf dan pergi. Rasanya sedikit lega karena aku sudah tahu bakal ada kejadian ini, lubang hitam yang menyeramkan itu sudah mengajariku rasa sakitnya lebih awal.


Bagaimana kabar kakak hari ini?


Ingatanku tiba-tiba ditarik lagi ke momen dimana orang lain yang jika boleh kusebut ia anak baik yang suka bohong itu muncul. Orang lain, bahkan tidak sampai enam bulan berkenalan, ia sudah dipanggil Yang Maha Esa untuk pulang saking baiknya, dan bohong. Anak itu tiap hari menanyai kabarku. Sesuatu yang sederhana, harusnya. Tapi setiap ditanya itu, aku selalu bingung membalas apa. Kabarku hari ini gimana ya.... jawabku, selalu begitu. Lalu dia selalu jawab, semoga kakak baik-baik ya, walaupun aku gak didekat sana. Setelahnya aku jadi sedih. Sedih sekali sampai sering kali mau nangis tiap baca dan inget momennya. Oh ada ya, orang yang seperti ini? Memangnya aku melakukan apa sih, sampai ada yang berdoa sebaik ini untukku. 

Sebab aku tidak merasa pantas, minimalnya dari kepalaku sendiri untuk diriku sendiri. Meskipun aku menolak ideasi tentang itu. Aku layak, saat aku senang. Lalu merasa paling buruk dan hina saat lubang hitam itu datang mendadak. 


Ada kalanya aku merasa lebih baik sendiri, tidak ada siapapun yang perlu aku pedulikan. Tapi aku lebih takut proses kehilangan dan menjadi sendirian itu tidak menyenangkan. Aku benci merasa sedih sendirian dan menangisi diri sendiri di ruangan ber-AC yang hanya aku dan Tuhan yang tahu soal perkara apa kesedihan itu mengguncang akal sehatku. Aku enggan, bukan berarti tidak mau sama sekali. Hanya saja, bagaimana ya bilangnya...


Apa ada orang waras di luar sana yang mau ikut berantakan hanya untuk hidup sepanjang hari seumur hidup denganku? Rasa-rasanya orang gila juga ogah ikutan berantakan, ya kan?


Maka dari itu, aku hanya ingin utuh dengan diri sendiri. 


Setidaknya aku juga mau menjadi waras dengan berhenti berantakan. Atau jika boleh bilang, ini bentuk terimakasihku pada mereka. Soalnya, kalau dunia yang mereka doakan untukku itu datang padaku suatu hari nanti, aku ingin mendekapnya dengan riang gembira ditanganku. Tidak mau dunia yang baik itu jadi sendu. Kalaupun memang tidak sampai padaku, minimalnya mereka tau... aku sudah berusaha semampuku untuk berhenti berantakan dan mengingatku sebagai perempuan yang menyenangkan yang pernah mereka kenal.


Aku tahu kalau aku cantik dan penuh cerita, banyak kurangnya tapi ada juga lebihnya. Mungkin semakin kenal, semakin paradoks dan penuh duri, it's totally fine to walk out. Untukku, terima kasih sudah bertahan. Jika di masa depan kamu tidak menjadi apa-apa, aku di masa ini tidak masalah sama sekali. Aku tahu kamu udah mencoba sebisamu, sekuat kekeraskepalaanmu, lalu jika hasilnya tidak ada, kamu tidak menyia-nyiakan apapun. Istirahat ya, dunia ini tidak selamanya... Gak apa-apa.

The Heartbreak

Senin, 22 Januari 2024
Apa yang membuatmu ingin kembali hilang dengan tetep ingin dikenang oleh mereka dalam ingatannya?
Seberani apa kakimu melangkah dan menerima bahwa jadi biasa-biasa saja tidak menyakiti siapapun?
Berapa lama kamu ketahui bahwa perpisahan yang paling kamu benci dan takuti itu sesungguhnya amat dekat lebih dari nadi dan darah?

Butuh waktu berapa lama untuk meninggalkan apa yang sudah kamu bangun sejak beranjak pergi dari rumah? Mau sampai mana ujungnya?

Butuh berapa lama lagi untuk pergi dari belenggu yang kamu ciptakan sendiri?

Ilusi apalagi yang kini kamu yakini akan terjadi?

Mau sejauh apa lagi kamu kabur dari rasa takut yang terus mengikuti seperti bayangan raksasa itu?

Kapan berhenti canggung dan mulai menjadi tenang?

Dimana batas-batas yang harus bisa dilangkahi itu?


Tidakkah kamu penasaran?
Tidakkah kamu ingin tahu bagaimana rasanya berhenti?
Tidakkah kamu ingin tahu rasanya menjadi dirimu sendiri tanpa gelisah?


Tidakkah kamu ingin dicintai lagi dan mencintai sebagai balasannya?

Kepada Tuhanmu yang sudah memberi segala hal di dunia ini?

Bentuk Dunia Dari Mata Seseorang Yang Ditinggalkan

Selasa, 16 Januari 2024

Jauh sebelum hari ini, ia sendiri sudah menyadari jika ia tidak pernah beranjak sejak lama. Meski rekam jejak langkahnya tercetak puluhan ribu dalam jam pintar yang tersemat di lengan kirinya, meski banyak dijelajahi kota di Pulau Jawa, meski ia berpindah dari tempat ke tempat, ia sendiri tahu betul kalau dirinya tidak pernah beranjak dari titik itu.


Mereka kira, ia adalah segala baik yang Tuhan turunkan karena bicaranya yang santun. Mereka kira, ia adalah segala cinta yang Tuhan turunkan karena relanya ia dan tidak banyak menuntut sesiapapun. Mereka kira, ia adalah segala peluk hangat dan teduh karena siap menjadi tong sampah emosional mereka. Perkiraan yang mereka berikan padanya, kini telah menjadi tembok besar, sebuah kastil indah nan kokoh yang kini mengelilinginya.


Ia juga, sungguh.. ingin seperti mereka. Mengira dirinya adalah segala baik, cinta, hangat dan teduh yang Tuhan turunkan seperti ucapan itu. Sama ketika dia bilang ia adalah segala cinta dan hidupnya, saat masih hidup dulu. Ia sungguh ingin.. beranjak dari kastil itu dan berlari entah kemanapun.. ia hanya ingin melihat dunia, selain dari matanya.


Nyatanya setelah seribu dua ratus hari lebih, ia masih ada di tempat yang sama. Tidak ada perubahan kecuali yang buruk. Ia sudah memastikan dalam tiga ratus hari terakhir. Saat rindu yang ia kira habis, saat semua hal menjadi biasa lagi, saat sebuah video kembali membuatnya bertanya-tanya kenapa aku sesedih ini lalu menangis lagi sebelum tidur.


Bagaimana kabarnya di atas sana? Apakah masih bisa ingat aku? ia bertanya-tanya dalam hatinya. 


Ternyata masih ada banyak rindu dan emosi yang menumpuk dalam dirinya. Tidak ada waktu untuk bersedih karena secara sadar ia sering menambah kesibukannya demi tidak teringat akan peristiwa lama, tapi ia tau kalau itu hanya kamuflase, ia tau kalau ia sedang mencoba menjadi penipu.


Tidak ada yang menarik selain merancang strategi untuk ikut meninggalkan dimatanya. 


Di mata yang perlahan terlelap itu, ia sekali lagi berucap tidak apa baginya jika tak ada kawan dalam perjalanan di dunia ini, asalkan ia turut pergi juga. Ia tidak betah di dalam kastil sendiri. Meskipun ialah yang mengunci pintu kastil dan tidak membiarkan orang lain memasukinya. 


Ialah paradoks, doa dan dosa yang mereka tidak pernah bayangkan. 


Setelah jauh begini, ia masih tetap ingin menjadi mereka yang meninggalkan. Sebab dirinya sudah tidak sanggup lagi untuk mengingat mereka yang meninggalkan. Ia tidak ingin meninggikan kastil dan bersembunyi didalamnya untuk dilupakan, sementara ia malah mengingat semua hal dalam hening dan sepi.


Ia juga ingin berhenti.


Untuk melihat dunia.. yang lain.





"..I’m clumsy
Wouldn’t it have been nice
The person who is standing forgotten..."
      -Choi Yu Ree (최유리) – 동그라미 (Shape) | 
Cover by Seungkwan SVT 

Maybe Next Time

Pukul dua pagi. Saat semua orang sudah lelap dalam tidur, ia masih terjaga dengan puluhan informasi tidak berguna yang didapatkan dari menyelam dari tweet ke tweet. Ia ingin berhenti, namun tubuhnya lebih dulu bergerak untuk menggulirkan layar dibanding mematikan gawai dan memejamkan mata.


Tahun baru, semangat baru. Katanya. 

Sudah lewat dari seminggu ia merasa tahun ini akan sama saja. Ia yang masih malas, masih takut, dan sisi lainnya yang masih ambisius dan impulsif. 

Kalau boleh bercerita, ia sendiri sudah tidak berharap apa-apa lagi. Meskipun yakin gagal dua tiga kali bukan akhir dari segalanya, namun perihal menemukan dan ditemukan orang lain untuk saling berbagi beban dan mengasihi sangat terasa jauh untuknya. Ia rela jika adik-adik sepupu atau rekan kerja yang lebih muda mendahului. Ia merasa tidak urgent untuk mempunyai hubungan, karena memang sedang tidak mood untuk berkasih sayang. Tidak ada yg cocok, tidak ada yg rela memberikan waktu mereka padanya, kalau ia mau bicara lebih jujur. Tidak is a strong words, tapi kalau bukan tidak, ia sendiri akan meragukan pernyataannya. Memang ada orang yang rela sehidup sesurga dengannya? Dengan dirinya yang kepalanya penuh hiruk pikuk pertanyaan dan kebohongan. Dengan dirinya yang punya stamina fisik rendah, darah rendah, dan self-esteem rendah pula?

Kata mereka, jodoh cerminan diri. 
Ia sudah dengar itu sejak masih pakai rok putih biru. 

Tapi justru itu, ia semakin ingin kabur dari segala hal yang menjadi aturan dunia. Ia tidak ingin bertemu jodoh yang pengecut, plinplan, tergesa-gesa dan keras kepala seperti dirinya.

Terbukti gagal dua tiga kali ternyata memiliki efek besar baginya untuk sekadar membuka diri. Ia memang baik-baik saja di luar, namun pada pukul dua pagi, segala perasaan yang ia sembunyikan itu memeluknya hingga pagi. Menyelimuti diri dengan perasaan sedih lalu esok harinya terbangun untuk menuruti keinginan dunia ini, lagi. 

Tahun baru, doa-doa yang disemat masih yang itu. 


Semoga semoga itu sudah digaungkan kerabatnya sejak enam tahun lalu. Jika ditarik kebelakang, mungkin bahkan sepuluh tahun lalu ketika putih abu-abu masih terbalut dalam tubuh. Ia tidak berhenti untuk percaya keajaiban Tuhan. Ia percaya pada suatu hari akan datang untuk berhenti, lalu memulai lagi tanpa curiga dan menghitung mundur berapa lama waktu tersisa sebelum ditinggal pergi. 

Ia percaya akan temukan. 
Ia percaya akan dipertemukan. 

Peruntungannya bilang, mungkin ada kesempatan di lain kali.