Top Social

cerita-cerita untuk dikenang

Jakarta, Kota Asing Untuk Orang Asing

Sabtu, 30 Maret 2024

Seperti baru kemarin aku misuh dalam hati saat keluar dari Stasiun Gambir tentang betapa berisiknya kota Jakarta. Ternyata kejadian itu sudah hampir sepuluh tahun lalu, dan aku masih betah berada di dalamnya. Ini mungkin terlalu personal dan panjang untuk dijabarkan secara lisan ketika teman-teman sekolahku bertanya "kok betah banget sih di Jakarta?" di momen-momen reuni atau bukber. 


Sebagai gambaran, aku lahir di kota yang sering diromantisasi dengan kota yang dibuat ketika Tuhan sedang tersenyum. Kota wisata padat penduduk yang sampai aku menulis hari ini masih banyak pencopetnya. Besar dan menjalani kehidupan wajib belajar 12 tahun di kota penuh panganan laut, kota udang. Seluruh 'pertama kali' di masa mudaku ada di kota yang panas wilayahnya mampu bikin gosong kulit tangan. Mulai dari pertemanan, pemikiran, naksir, patah hati, kehilangan, dan lain-lain yang membentuk pribadiku hingga kini. Aku sayang mereka semua, yang hadir dan yang yang telah pergi dari hidupku di masa muda. Kini, 9 tahun sudah kuhabiskan masa dewasa awalku di kota metropolitan yang penuh tekanan. 


Tahun depan bulan delapan, aku akan menyentuh titik sepuluh tahun tinggal di kota pusat pemerintahan Indonesia ini. Yah, belum tahu juga sih, apakah tahun depan aku masih di Jakarta atau tidak, menimbang berbagai kemungkinan dan keinginan yang selama ini sudah aku simpan lama. Ngomong-ngomong, meskipun sudah 9 tahun, aku masih gak suka loh sama Jakarta. Buat aku yang sudah semi-nomaden sejak lahir aja, ngerasa kalau Jakarta terlalu cepat perubahan dan harus mau ikut cepat karena ada di dalam sistemnya. Capek loh terus-terusan harus cepat. Apalagi yang udah terbiasa dengan slow-pace life, pasti lebih capek. Apalagiii misalnya dia gak pernah keluar dari kota kelahirannya, terus datang ke kota metropolitan ini, kayaknya bakal banyak pengalaman hidup yang bikin nangis, dan mengerti istilah Jakarta itu kejam (sebenernya dianggap kejam karena pada bodo amat aja menurutku). Tapi Jakarta itu kayak Photoshop, punya banyak layer, bisa dipakai efek apapun per layernya biar hasilnya lebih bagus.


Buatku, yang kesulitan menganggap sebuah tempat menjadi tempat pulang, Jakarta lumayan ideal untuk 'pulang' daripada harus kembali ke tempat dimana aku pernah belajar selama 12 tahun di dalamnya, atau bahkan lebih baik lagi daripada pulang ke tempat kelahiranku yang terlalu ngurusin orang lain di kehidupan bermasyarakatnya. Ini bias, aku paham. Terlalu lama tinggal di tempat individualisme tinggi, sedikit banyak pasti mengubah caraku berpikir soal tempat pulang. 


Masalah yang terjadi adalah, rencana jangka panjangku gak pernah mau ada di tiga kota yang pernah aku tinggali, tapi tidak tahu harus menetap di mana.


Mereka bilang aku terlalu betah di Jakarta, padahal aku sendiri gerah dan ingin pergi dari sini sejak lama. Tapi yaa gimana dong? Jakarta tuh tempat persembunyian terbaik sejauh ini. Kota besar berpotensi sesama warganya tidak perlu saling mengenal dan membuka diri terlalu banyak. Setidaknya, tidak ada orang yang rewel dengan segala idealisme ataupun paradoks yang aku bawa di kepala kan? Kalau aku harus menetap di kota tempat orangtuaku tinggal, terlalu banyak mata dan mulut yang menekanku untuk membuka diri.


Apa salahnya membuka diri? Gak ada kok. Aku aja yang gak mau. Aku maunya membuka diri ke orang-orang tertentu yang aku pilih aja. Atau orang-orang yang bisa 'membaca' diriku tanpa perlu aku yang bicara. Idealismeku yang satu itu, pasti tidak semua mau mengerti. Atau jika mau mengerti pun, kebanyakan akan menyindir, membuatku seolah-olah punya pemikiran aneh seperti alien (padahal alien juga, siapa tau ga aneh pemikirannya kan?).


Makanya, aku bilang Jakarta itu tempat sembunyi paling ideal buat orang-orang yang tidak punya tempat pulang. Lokasi bermain paling besar untuk memenuhi ego orang-orang kecil yang ingin nampak besar. Cuma, saat ini tuh yang jadi pertanyaanku, mau sampai kapan bersembunyi di kota metropolitan yang berisik ini? 


dan aku masih belum menemukan jawabannya.











Mungkin, aku perlu berkunjung ke kota lain selain Pulau Jawa dan negara ini untuk menemukan jawabannya? Atau cukup dengan satu orang penting dan pertanyaan itu akan terjawab? Wallahu'alam. Kita lihat episode berikutnya ya, aku juga penasaran.

To Take A Decision..

Senin, 18 Maret 2024

Day6 was comeback today. In early spring when the clouds still grey and cold might catch us, they give me some kind of warmness. Enough with opening, let's talk more about something I really consider this years. Maybe not a good story in english, but I try my best.


So, if 5 years later i'll comeback reading this, please remember this post was actually written when you have done japan course and wanting to work more but need sleep because you need sahur eat some protein. I'll make it fast since what i wanna write is only about how hard i'm when i saw the two option and make a decision right in front of my face in the mean time.


To me, who always thinking about people first, to take a small steps is scary things. Move is gambling. And if I stay, I know I'll die. To me, have a courage to choose whatever i wanna take is never be in my top of mind. I'll probably choose something based on whatever my precious people give an advice. My inner circle. Which means, my family. 


But last month, when I have mentally down and take a impulsive chat to ask my parents separately, i just found out they're never push me to do whatever i do today. Then why i need to do this? I asked myself day by day. Why I need to take responsibility when actually i didn't have to?


I start to reframing, what is what and why is why after that. I mean, i think i do this for them, to make them feel glad I actually grown up, I wanna make them happy. But after a long convo they're never what i thought before. The meaningless i felt is validated by them. 


So, maybe in the future you'll more sad, or more overthinking, or maybe you more happy than this. I didn't know, but like day6 comeback song today, 


The future that you're welcoming with me might be risky
But there might also be tear-filled impassion

I know your decision was not easy
It's my part to make you not regret it
If you're willing

Welcome to the show!


Really hope your heart is fulfilled by the warmness and hugged by person that you love, back to the God and rounded by saleh-salehah, no more hair loss and can eat anything without heavy feeling. Back as happy as a new person. Now you can lean on me, tu. You don't have to take all the things alone. The me in you is brave enough to let go. It's risky I know, but this is the only thing I know to keeping us sane and know what I really passionate. The alarm is ringing......

To me, and the world they said I deserve

Sabtu, 09 Maret 2024

Tengah malam yang damai diiringi dengan ramainya pikiran dan tumpukan pekerjaan yang enggan diselesaikan. Hari ini sudah sabtu, 10 jam lagi keretaku tiba untuk membawa pergi dari ruangan ber-AC ke rumah berisikan ibu dan ayah didalamnya. Ada haru, juga sebagiannya sedih karena ingat cerita-cerita di masa lalu.


Untuk menjadi aku yang hari ini mereka bilang sebagai anak baik, jutaan malam perlu dilewati dengan hembusan frustasi yang diam-diam kulakukan ditengah terpaan ekspektasi sejak kecil. Anak tunggal, perempuan, berjilbab, akademik yang baik, relasi yang mendukung, orang tua yang lengkap dan tegas, aku punya kelebihan-kelebihan itu semua. Dan itu semua menjadi bumerang untuk mengharapkan aku, minimalnya, tidak mengecewakan, siapapun itu, karena mereka semua, mendoakan kebaikan untukku.


Lantas sedih untuk apa?


Dia yang dulu bilang janji untuk menemaniku-pun bertanya hal yang sama. Sedihin apa lagi sih? katanya. Lalu marah-marah dan mengungkit bahwa aku kurang bersyukur atas segala privilege itu. Dan ceramah-ceramah lain soal melihat terlalu keatas dan kebanyakan online di sosmed. Aku saat itu merespon dengan tertawa saja. Lalu diam-diam membuat sebuat private post di line yang hanya bisa dibaca diri sendiri tentang betapa menyeramkannya sebuah lubang hitam itu. Sesuatu yang menarik habis energi bahagiaku sampai yang tersisa hanya kesedihan, aku gak layak dan gak capable untuk sesuatu itu. Lantas ketika dia yang dulu bilang janji untuk menemaniku itu minta maaf dan pergi. Rasanya sedikit lega karena aku sudah tahu bakal ada kejadian ini, lubang hitam yang menyeramkan itu sudah mengajariku rasa sakitnya lebih awal.


Bagaimana kabar kakak hari ini?


Ingatanku tiba-tiba ditarik lagi ke momen dimana orang lain yang jika boleh kusebut ia anak baik yang suka bohong itu muncul. Orang lain, bahkan tidak sampai enam bulan berkenalan, ia sudah dipanggil Yang Maha Esa untuk pulang saking baiknya, dan bohong. Anak itu tiap hari menanyai kabarku. Sesuatu yang sederhana, harusnya. Tapi setiap ditanya itu, aku selalu bingung membalas apa. Kabarku hari ini gimana ya.... jawabku, selalu begitu. Lalu dia selalu jawab, semoga kakak baik-baik ya, walaupun aku gak didekat sana. Setelahnya aku jadi sedih. Sedih sekali sampai sering kali mau nangis tiap baca dan inget momennya. Oh ada ya, orang yang seperti ini? Memangnya aku melakukan apa sih, sampai ada yang berdoa sebaik ini untukku. 

Sebab aku tidak merasa pantas, minimalnya dari kepalaku sendiri untuk diriku sendiri. Meskipun aku menolak ideasi tentang itu. Aku layak, saat aku senang. Lalu merasa paling buruk dan hina saat lubang hitam itu datang mendadak. 


Ada kalanya aku merasa lebih baik sendiri, tidak ada siapapun yang perlu aku pedulikan. Tapi aku lebih takut proses kehilangan dan menjadi sendirian itu tidak menyenangkan. Aku benci merasa sedih sendirian dan menangisi diri sendiri di ruangan ber-AC yang hanya aku dan Tuhan yang tahu soal perkara apa kesedihan itu mengguncang akal sehatku. Aku enggan, bukan berarti tidak mau sama sekali. Hanya saja, bagaimana ya bilangnya...


Apa ada orang waras di luar sana yang mau ikut berantakan hanya untuk hidup sepanjang hari seumur hidup denganku? Rasa-rasanya orang gila juga ogah ikutan berantakan, ya kan?


Maka dari itu, aku hanya ingin utuh dengan diri sendiri. 


Setidaknya aku juga mau menjadi waras dengan berhenti berantakan. Atau jika boleh bilang, ini bentuk terimakasihku pada mereka. Soalnya, kalau dunia yang mereka doakan untukku itu datang padaku suatu hari nanti, aku ingin mendekapnya dengan riang gembira ditanganku. Tidak mau dunia yang baik itu jadi sendu. Kalaupun memang tidak sampai padaku, minimalnya mereka tau... aku sudah berusaha semampuku untuk berhenti berantakan dan mengingatku sebagai perempuan yang menyenangkan yang pernah mereka kenal.


Aku tahu kalau aku cantik dan penuh cerita, banyak kurangnya tapi ada juga lebihnya. Mungkin semakin kenal, semakin paradoks dan penuh duri, it's totally fine to walk out. Untukku, terima kasih sudah bertahan. Jika di masa depan kamu tidak menjadi apa-apa, aku di masa ini tidak masalah sama sekali. Aku tahu kamu udah mencoba sebisamu, sekuat kekeraskepalaanmu, lalu jika hasilnya tidak ada, kamu tidak menyia-nyiakan apapun. Istirahat ya, dunia ini tidak selamanya... Gak apa-apa.