Top Social

cerita-cerita untuk dikenang

Bukan Kita

Minggu, 10 November 2019
Lubang itu tidak lama lagi semakin besar. Meninggalkan sepi dan angin-angin dingin memasukinya secara cepat. Untuk waktu yang tidak terhitung awal mulanya, anggaplah hari ini adalah satu hari aku sangat-sangat menyukaimu dari semua waktu yang ada. Tolong kenang aku juga, sebagai apapun itu di salah satu memorimu, hari ini.

Kalau kukatakan tidak, kemungkinan besar aku telah berpikir ribuan kali untuk bilang iya, namun kehabisan alasan sehingga kukatakan lima huruf terkutuk itu. Kupikir harusnya kamu harus tahu dulu mengapa puluhan kali kutanya kesanggupanmu sebelum benar-benar memikirkan aku lebih jauh. Sebab tidak, adalah tidak. Kebaikanmu melemahkan aku, alih-alih memberi kekuatan. Sakitmu pernah kurasakan juga, hingga tidak tega aku membuatmu sakit yang sama. Juga tidak ingin merasa kehilangan lagi. 

Tapi perlu juga kamu tahu,

Aku hilang akal hari ini.

Kuputuskan untuk membiarkan tanganmu mengalungkannya tepat di leher -meski itu geli tapi aku diam saja. Berjalan ke sana dan sini, membiarkan ceritamu mengalir di sepanjang jalan tikus menuju tempat baru. Membuka diriku dengan ikut bercerita denganmu. Juga membiarkan tanganmu menggenggamku walau sepuluh detik saja. Aku membiarkan pula kepalaku bersandar pada tubuhmu, dan kemudian membicarakan kita di masa depan meski hanya dengan dua pertanyaan.

Aku hilang akal hari ini.

Diriku dipenuhi oleh semua celotehmu, memikirkanmu sebab mereka banyak membicarakanmu, seolah-olah aku dan kamu adalah kita. Lalu tertawa. Seolah masalahmu tiada, dan aku satu-satunya. Pelarian yang sempurna. 

Semua orang tidak akan ada yang peduli betapa hancurnya masing-masing dari kita, yang dipedulikan hanya bagaimana kita terlihat bersama. Dan aku telah menunjukkannya, hari ini. Entah pada siapa, atau entah siapa yang melihat dan peduli padaku.

Aku telah memasukan ego dan ketakutan pada kotaknya hari ini, dua hal yang biasanya berantakan dan menguasaiku. 

Lalu cukup.

Begitu saja, kumohon jangan lebih.


Bagiku kamu berharga. Tidak ingin aku menguasai hal yang berharga. Aku cukup melihatmu dari jauh dan merasa puas karena mengenalimu.  Bukan untuk dimiliki. Seberapa sering aku bermimpi dan setuju pun, aku merasa tidak mampu. Bangga aku bisa terus melihatmu tumbuh.

Anak kecil itu kini sudah dewasa. 

Jadi biarlah akalku kembali lagi, membuka kotak Pandora berisi ego dan ketakutan agar kembali menguasaiku, sehingga suatu hari nanti kulihat kamu bahagia bersanding dengan yang benar-benar tulus seperti yang kamu lakukan seperti biasanya.

Hidupku biar diurus olehku saja, biar aku yang melarutkan botolan air mata dengan pil kecewa sendirian. Bait-bait doa kusampaikan pada langit, meminta hujan turun membasahi hati.

Membiarkan keberanian tumbuh sendiri, meski untuk waktu yang lama.