– Mereka yang Hilang
“Ketidaktahuan dan
ketidakpastian kadang - kadang lebih membunuh dibanding pembunuhan.” (laut
bercerita halaman 256)
Laut
Bercerita adalah novel karya Leila S Chudori yang pertama saya baca. Sebutlah
saya orang udik yang baru membaca karya beliau. Saya memang tidak pernah berani
melirik buku yang berbau politik dan sejenisnya. Bukan karena saya pernah
mengalami hal tidak menyangkan zaman orba, justru karena saya terlahir setahun sebelum lengsernya pemerintah
yang disebut-sebut diktator itu. Saya tidak tahu apa-apa, betul. Saya tidak ingat
peristiwa apapun selain pelukan hangat dari ibu dan tatapan was-was dari ayah.
Lewat buku
ini, tersampaikanlah suara dari suatu kedalaman yang entah berasal dari Samudra
mana. Mengenai peristiwa penghilangan yang telah 19 tahun tanpa ada kejelasan,
mengenai tragedi konyol kekuasaan yang entah motifnya apa (saya bicara begini
karena sungguh tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi dan mengapa tidak diceritakan
kepada umum dan mengapa kita tidak tahu apapun, sungguh hanya Tuhan dan mereka
yang berbuat saja yang tahu cerita lengkapnya), mengenai lembar hitam yang
berusaha diabaikan zaman, tergerus oleh kilau tren fashion dan berita selebriti
tanah air.
Biru Laut
adalah seorang mahasiswa Sastra Inggris UGM yang mencintai sastra karena rangkaian
kata bisa membuat suatu suasana yang tak bisa diucapkan kata-kata. Lahir dari
keluarga hangat penuh cinta, Biru Laut merupakan sosok abang yang menyayangi
orang-orang sekitar. Entah kenapa untuk
saya pribadi, keluarga ini seperti dirancang bapak agar menjadi keluarga berencana
yang taat aturan rezim. Punya anak dua, sekolah dengan baik, tidak memiliki
riwayat kelam, dan sebagai wartawan, Bapak memiliki tugas untuk tidak
menyudutkan pemerintah dalam setiap wacana berita.
Sayangnya Biru
Laut memiliki jalannya sendiri. Bertemu Kasih Kinanti yang selalu ingin
dipanggil Kinan di tempat fotokopi membuka jalan menuju dasar laut untuk sebuah
Indonesia yang baru. Zaman itu buku Pram tidak sebebas sekarang dijual dan
didiskusikan. Kasih Kinanti dengan illegal mengkopi beberapa buku terlarang di
tempat itu dan berkenalanlah Biru Laut dengan sebuah rumah kedua bernama
Winantra dan Wirasena.
|
foto : dokumentasi pribadi |
Laut bertemu banyak orang dalam organisasi. Tapi pertemuan
dengan Anjani lah yang membuat saya mereasa aktivis masih manusia biasa, bukan
orang yang penuh taktik dan ucapan kritis yang bikin mikir dan bikin pusing. Dengan
Anjani, saya bisa merasakan Laut adalah seseorang yang kuat harapan sekaligus
orang paling lemah.
Pertemuan dengan Arifin Bramantyo, Alex yang kemudian akan
menjadi kekasih Asmara (adiknya Laut), Kinan, Daniel, Sunu, serta beberapa
orang lainnya menjadi krisis dalam novel ini. Penghianatan di dalam organisasi
tidak terendus, hingga Di tahun 1996, Winantra dan Wirasena dianggap organisasi terlarang
karena membahayakan kedudukan presiden. Suara petani dan buruh makin ditekan,
media diatur sedemikian rupa agar tidak menyudutkan presiden. Hidup berpindah
tempat dan mengganti nama demi mempertahankan nafas dalam negeri ini, Laut
beberapa kali mengirim kabar kepada Anjani dan Asmara lewat titipan berantai
agar jejak tidak terendus intel. Beberapa kali bahkan mengirim cerita di surat
kabar dengan nama pena yang berganti-ganti.
Saya sedih ketika bagian Alex bertanya pada Laut mengenai cerpen
“Rizki belum Pulang” yang menceritakan mengenai Ibu, Ayah dan Adiknya Rizki yang
selalu menunggu di meja makan setiap hari minggu meskipun Rizki tidak akan
kembali. Cerpen buatan Laut “Rizki belum Pulang” semacam firasat karena
setelahnya, Laut diculik dan hilang bersama 13 nama yang hingga kini belum ada kabar
beritanya.
Pemerintahan
yang begitu berbeda dari idealnya sebuah pemerintahan, membuat mahasiswa
menuntut hak dan membantu suara-suara kecil agar naik kepermukaan. Saya masih tidak mau peduli dengan semua hal
itu. Percayalah, meskipun selalu rajin mengomentari permasalahan sepele seperti
tidak jelasnya harga bbm, kenaikan tarif listrik yang tiba-tiba dan tanpa pengumuman,
betapa tidak kondusifnya para pemuda pemudi sekarang dalam berinteraksi, saya
masih tidak tahu apapun mengenai kesulitan orang-orang miskin, betapa sulitnya
mereka dan betapa manipulatifnya seseorang hanya untuk menyambung hidup dari
hari ke hari. Baru kali ini saya sadar bahwa saya hidup terlalu nyaman.
Sampai
detik ini, kedunguan saya telah terbukti dan berkali-kali tidak nyambung
berbicara dengan teman sebaya yang seorang aktivis. Berkali-kali menguatkan mental bahwa “tidak
masalah tidak mengerti politik. Tidak masalah tak paham demokrasi. Hidup masih
aman” adalah sebuah induk kemasalan untuk menjadi manusia dungu. Dan akan terus
menjadi dungu karena bahan bacaan yang itu-itu saja.
Laut
Becerita yang saya kira berbahasa yang berat ternyata justru tidak serumit itu.
Penulisnya menggambarkan suasana dengan ciamik. Gara-gara novel ini saya
penasaran dengan Tengkleng dan kangen nasi tutug oncom. Sebuah tulisan mengenai
perasaan dari mereka yang salah satu keluarganya dihilangkan, Laut Bercerita
mewakili harapan yang tipis namun tak putus-putus.
Untuk generasi
millenials, perlu lah juga membaca buku seperti ini. Mau sampai kapan kalian
buta politik dan apatis dengan keadaan sekitar kalian? saya tidak bisa berbuat banyak, ikut-ikutan aksi tentu membuat kedua orangtua saja jantungan nanti, maka yang bisa saya lakukan adalah belajar, menjadi lilin kecil yang berusaha menerangi semampunya sampai mati nanti. semoga yang hilang menemukan titik temu..
KETERANGAN
BUKU
Judul buku: Laut Bercerita
Penulis: Leila S. Chudori
Penyunting: Endah Sulwesi, Christina M. Udiani
Ilustrasi sampul dan isi: Widi Widiyatno
Penerbit: KPG
ISBN: 978-602-424-694-5
Cetakan pertama, Oktober 2017
379 halaman