Top Social

cerita-cerita untuk dikenang

Panah Dosa

Minggu, 04 November 2018
sebuah tulisan tiba-tiba saat ritme kehidupanku berulang kali sumbang.


Panah Dosa

Mereka kelabu tapi putih,
sudah jelas aku putih tapi kelabu.
semua ini hanya kubikel yang bisa saja diintip banyak orang.
tapi terlalu nyaru.
aku tahu pasti orang-orang tidak mau tahu

memang tidak menarik jika berperan untuk terbuka,
dan jadi menarik bila punya sebuah rahasia.
dengan lihai sembunyi dalam aksara,
siapapun engkau, pastilah bernasib sama.

malangnya kita, 
terjebak peran sendiri.
apakah kamu juga bercerita mengenai dosa-dosa yang disembunyikan tuhan?
yang tak mampu ditampung satu raga?

panah masih meleset.
tetapi jejaknya tidak hilang dalam sesak sebelum lelap.
siapa gerangan yang mau hidup dengan sesal?
tapi diulang-ulang karena sok jadi pemanah.

Review Novel Laut Bercerita Leila S Chudori


– Mereka yang Hilang




“Ketidaktahuan dan ketidakpastian kadang - kadang lebih membunuh dibanding pembunuhan.” (laut bercerita halaman 256)

Laut Bercerita adalah novel karya Leila S Chudori yang pertama saya baca. Sebutlah saya orang udik yang baru membaca karya beliau. Saya memang tidak pernah berani melirik buku yang berbau politik dan sejenisnya. Bukan karena saya pernah mengalami hal tidak menyangkan zaman orba, justru karena saya terlahir setahun sebelum lengsernya pemerintah yang disebut-sebut diktator itu. Saya tidak tahu apa-apa, betul. Saya tidak ingat peristiwa apapun selain pelukan hangat dari ibu dan tatapan was-was dari ayah.



Lewat buku ini, tersampaikanlah suara dari suatu kedalaman yang entah berasal dari Samudra mana. Mengenai peristiwa penghilangan yang telah 19 tahun tanpa ada kejelasan, mengenai tragedi konyol kekuasaan yang entah motifnya apa (saya bicara begini karena sungguh tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi dan mengapa tidak diceritakan kepada umum dan mengapa kita tidak tahu apapun, sungguh hanya Tuhan dan mereka yang berbuat saja yang tahu cerita lengkapnya), mengenai lembar hitam yang berusaha diabaikan zaman, tergerus oleh kilau tren fashion dan berita selebriti tanah air.
Biru Laut adalah seorang mahasiswa Sastra Inggris UGM yang mencintai sastra karena rangkaian kata bisa membuat suatu suasana yang tak bisa diucapkan kata-kata. Lahir dari keluarga hangat penuh cinta, Biru Laut merupakan sosok abang yang menyayangi orang-orang sekitar. Entah kenapa  untuk saya pribadi, keluarga ini seperti dirancang bapak agar menjadi keluarga berencana yang taat aturan rezim. Punya anak dua, sekolah dengan baik, tidak memiliki riwayat kelam, dan sebagai wartawan, Bapak memiliki tugas untuk tidak menyudutkan pemerintah dalam setiap wacana berita.
Sayangnya Biru Laut memiliki jalannya sendiri. Bertemu Kasih Kinanti yang selalu ingin dipanggil Kinan di tempat fotokopi membuka jalan menuju dasar laut untuk sebuah Indonesia yang baru. Zaman itu buku Pram tidak sebebas sekarang dijual dan didiskusikan. Kasih Kinanti dengan illegal mengkopi beberapa buku terlarang di tempat itu dan berkenalanlah Biru Laut dengan sebuah rumah kedua bernama Winantra dan Wirasena.

foto : dokumentasi pribadi

Laut bertemu banyak orang dalam organisasi. Tapi pertemuan dengan Anjani lah yang membuat saya mereasa aktivis masih manusia biasa, bukan orang yang penuh taktik dan ucapan kritis yang bikin mikir dan bikin pusing. Dengan Anjani, saya bisa merasakan Laut adalah seseorang yang kuat harapan sekaligus orang paling lemah.

Pertemuan dengan Arifin Bramantyo, Alex yang kemudian akan menjadi kekasih Asmara (adiknya Laut), Kinan, Daniel, Sunu, serta beberapa orang lainnya menjadi krisis dalam novel ini. Penghianatan di dalam organisasi tidak terendus, hingga Di tahun 1996, Winantra  dan Wirasena dianggap organisasi terlarang karena membahayakan kedudukan presiden. Suara petani dan buruh makin ditekan, media diatur sedemikian rupa agar tidak menyudutkan presiden. Hidup berpindah tempat dan mengganti nama demi mempertahankan nafas dalam negeri ini, Laut beberapa kali mengirim kabar kepada Anjani dan Asmara lewat titipan berantai agar jejak tidak terendus intel. Beberapa kali bahkan mengirim cerita di surat kabar dengan nama pena yang berganti-ganti.


Saya sedih ketika bagian Alex bertanya pada Laut mengenai cerpen “Rizki belum Pulang” yang menceritakan mengenai Ibu, Ayah dan Adiknya Rizki yang selalu menunggu di meja makan setiap hari minggu meskipun Rizki tidak akan kembali. Cerpen buatan Laut “Rizki belum Pulang” semacam firasat karena setelahnya, Laut diculik dan hilang bersama 13 nama yang hingga kini belum ada kabar beritanya.

Pemerintahan yang begitu berbeda dari idealnya sebuah pemerintahan, membuat mahasiswa menuntut hak dan membantu suara-suara kecil agar naik kepermukaan.  Saya masih tidak mau peduli dengan semua hal itu. Percayalah, meskipun selalu rajin mengomentari permasalahan sepele seperti tidak jelasnya harga bbm, kenaikan tarif listrik yang tiba-tiba dan tanpa pengumuman, betapa tidak kondusifnya para pemuda pemudi sekarang dalam berinteraksi, saya masih tidak tahu apapun mengenai kesulitan orang-orang miskin, betapa sulitnya mereka dan betapa manipulatifnya seseorang hanya untuk menyambung hidup dari hari ke hari. Baru kali ini saya sadar bahwa saya hidup terlalu nyaman.
Sampai detik ini, kedunguan saya telah terbukti dan berkali-kali tidak nyambung berbicara dengan teman sebaya yang seorang aktivis.  Berkali-kali menguatkan mental bahwa “tidak masalah tidak mengerti politik. Tidak masalah tak paham demokrasi. Hidup masih aman” adalah sebuah induk kemasalan untuk menjadi manusia dungu. Dan akan terus menjadi dungu karena bahan bacaan yang itu-itu saja.

Laut Becerita yang saya kira berbahasa yang berat ternyata justru tidak serumit itu. Penulisnya menggambarkan suasana dengan ciamik. Gara-gara novel ini saya penasaran dengan Tengkleng dan kangen nasi tutug oncom. Sebuah tulisan mengenai perasaan dari mereka yang salah satu keluarganya dihilangkan, Laut Bercerita mewakili harapan yang tipis namun tak putus-putus.

Untuk generasi millenials, perlu lah juga membaca buku seperti ini. Mau sampai kapan kalian buta politik dan apatis dengan keadaan sekitar kalian? saya tidak bisa berbuat banyak, ikut-ikutan aksi tentu membuat kedua orangtua saja jantungan nanti, maka yang bisa saya lakukan adalah belajar, menjadi lilin kecil yang berusaha menerangi semampunya sampai mati nanti. semoga yang hilang menemukan titik temu..



KETERANGAN BUKU
Judul buku: Laut Bercerita
Penulis: Leila S. Chudori
Penyunting: Endah Sulwesi, Christina M. Udiani
Ilustrasi sampul dan isi: Widi Widiyatno
Penerbit: KPG
ISBN: 978-602-424-694-5
Cetakan pertama, Oktober 2017
379 halaman