Top Social

cerita-cerita untuk dikenang

Kura-kura Lepas

Senin, 20 Desember 2021

 Seharusnya hanya sementara selesai. Tapi dunia ini kadang punya cara unik agar semua jawaban yang terasa jelas kembali abu-abu. Semua yang dirasa cukup mendadak kekurangan. Semua yang dulu terasa lengkap jadi hilang arti dan tujuan. Semua yang dikenang, harus direlakan.


Dee Lestari bilang dunia ini cair, maka harus bisa beradaptasi di segala kondisi.


Mungkin aku masih seekor kura-kurang dalam cangkang. Tempatku terbatas dan aku tidak tahu apa-apa selain cangkang milikku sendiri. Kura-kura ini harusnya di lepas, supaya tahu bagaiman cara bertahan hidup. Supaya mengerti bahwa yang ia tahu tidak selalu benar. Dan kebenaran tidak selalu perlu diucapkan. Hal itu pula harusnya dimengerti kura-kura yang hidup dalam cangkang. Oleh sebab itulah jadi kehilangan kepercayaan diri dan mungkin masih cukup jauh jarakku untuk membersamaimu. Mungkin masih jauh untukku bertemu persimpangan lagi. Mungkin memang aku butuh kawan, tapi mungkin belum saatnya.


Maka demi Dzat yang Maha Baik, yang telah mempertemukanku dengan orang baik lain sepertimu, harapan-harapan yang hampir patah itu mesti diletakkan dalam tempat aman meski tak mewah. Agar suatu hari nanti bila memang sudah waktunya, bisa dipoles menjadi lebih indah atau bahkan harus diberikan pada yang lain sebagai hadiah.


Untuk pertama kalinya dalam hidup, mengajak lalu menyelesaikan apa yang sudah dimulai. Meskipun penyelesaiannya bukan pakai cara yang paling terbaik. Sebetulnya tidak ada perpisahan dengan kalimat 'putus baik-baik' kan? Karena jika memang baik, tidak akan ada putus diawal kata. Pertama kalinya pula untuk tidak menunggu dan mencari solusi sendiri. Aku hanya merasa ini belum saatnya, firasatku bilang mungkin nanti, sehabis semua badai tahun ini bisa aku kuasai, dan seluruhnya masih sendiri, akan kuperjuangkan lagi apa-apa yang hari ini kurelakan pergi.


Tapi kemungkinan lainnya, sehabis semua badai itu, aku justru kembali menemui badai lain dan harus kembali adaptasi dengan diriku yang punya perisai baru. Mungkin juga tidak lagi ada yang sendiri. Semua hal di dunia ini tidak ada yang tidak mungkin. Aku bertaruh selama setahun ini untuk paling tidak masalah secara internal bisa teratasi meski entah bagaimana caranya aku tidak tahu. Aku tidak berharap untuk satu nama, tidak lagi berharap semuanya berjalan seperti rencana, tapi semoga saja aku mampu menjalani apa yang menurut-Nya benar dan itu sudah cukup untuk jadi alasan merasa bahagia. Keinginanku beririsan dengan keinginan-Nya.


Setelah merusak banyak hal, memperbaiki bukan perkara mudah. Menerima bahwa aku seorang hamba yang lemah dan hari-hariku sudah diurus-Nya kadang masih kesulitan. Masih sering ingin mengatur, padahal sejatinya Yang Maha Mengatur hanyalah Allah, Rabb seluruh alam. Kadang tidak sadar masih sering tersakiti ekspektasi sendiri, tidak memasrahkan apa yang jadi suratan takdir buatan illahi.


Siapapun itu, yang nantinya bersinggungan dengan lingkaran kita, kuharap sabar senantiasa hadir dalam hati. Istigfar sebagai perisai diri, dan senyum selalu menghiasi. Perkara yakin, di suatu hari yang indah, di mana langit sedang biru tanpa awan dan angin berhembus lembut, disitu kita akan bertemu untuk pertama kalinya lagi.


Saat ini biarkan Yang Maha Menjaga, menjaga kita di tempat-tempat kebaikan. Bersinergi dengan kebaikan lain untuk semakin bertumbuh menjadi pohon yang kokoh dan teduh. Mempelajari yang paling esensial dari hidup. Bukan lagi soal nominal, ini perkara iman yang menjadikan kita akan terikat suatu hari nanti. Akan ada kebaikan meski kali ini kau kupatahkan. 


Selamat berhenti berharap pada manusia. Kita mulai lagi dari awal ya, dari diri sendiri di tempat start masing-masing. Meski garis finsihnya akan beda, di persimpangan nanti bisa jadi kita berjumpa. Bukankah kita sama-sama yakin orang baik selalu bertemu dengan kebaikan lain? :)

Lilin, pantaskah jika untuk hidup lebih lama?

Nyala terbatas dengan sedikit kapasitas,
Terang redup di sebuah kelas, 
Mungkin tak sadar membakar diri
Sampai habis tak ada bekas


Mungkin memang ibarat,
Lilin adalah tanda sebuah isyarat. 
Menghanguskan diri untuk menerangi sekat.
Tak pernah bisa bertahan saat sekarat.


Lilin, lilin,
Mengapa tercipta menjadi baik?
Mengapa mau mati untuk sebuah terang
yang hanya sesaat?


Lilin, lilin, 
Mengapa tak bisa besar tubuhmu agar
bisa bertahan lebih lama? 
Atau bisa tidak dibuat tahan api sumbunya?


Lilin, lilin, 
Terima kasih tapi jangan hidup sebentar.
Masih banyak ruangan perlu cahaya.
Masih sudikah engkau dibakar hangus kembali? 








S2wise. 20.12.21pu


Yang Tak Mungkin Hilang

Selasa, 14 Desember 2021
Sudah berhenti napasmu di kehidupan
Tapi suaramu masih ada
Terisi dari lagu-lagu populer yang disukai
Dan karena aku mengingatnya


Mungkin sudah lupa
Karena udah dikebumikan sakitnya
Kilas balik memori menggoda
Dan karena aku mengingatnya


Salahmu masih jelas
Tapi kebaikanmu membekas
Meski garis bersinggungan keras
Sudah pasrah engkau kulepas


Masih belum sampai untuk sebuah temu
Bahkan sekadar tahu dan menyapamu
Sebuah melankolia sejak tahun lalu
Bingungnya masih berjejak baru


Yang tak mungkin hilang
Meski waktu sudah banyak terbuang
Adalah ia yang bilang mau datang
Namun pergi tanpa kembali pulang



Dan dengan kepercayaan diri sisa-sisa,
Membiarkan agar digerakkan semesta,
Untuk menemukan siapa nahkoda
Dari kapal yang kau bukakan pintunya.




Yang tak mungkin hilang - S2 setelah mendengar lagu Dean Lewis Be Alright dini hari. 14.12.21

Kebaikan Kecil

Minggu, 12 Desember 2021
Sepulang dari kegiatan di luar kantor, abang ojol bertanya gini:

"Mba, emang halal ya makan di situ?"

Sebelumnya titik lokasi penjemputan ada di sebuah resto kwetiaw di daerah Glodok yang cukup ramai hari itu. 

"InsyaAllah pak. Kalo review nya sih Halal. Daging sapi kok." jawabku. 

"Iya, saya kaget soalnya mba berhijab trus makanan di sana kan non halal."

Jawaban abang ojol itu mau gak mau bikin saya senyum. Wih.. Gini yaa rasanya dapet kebaikan dari orang lain. Meski gak kenal tapi peduli. Bahkan tentang halal haramnya makanan. 


Buatku, perhatian sekecil apapun dari orang lain sudah cukup jd alasan agar berbuat kebaikan yang lain. 


Soalnya ketika menerima kebaikan, kita sendiri jadi senang. Dan kita mau orang lain juga jadi senang. 

Jadi inget hadist ini:

Dari Abu Hamzah Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, pembantu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Salah seorang di antara kalian tidaklah beriman (dengan iman sempurna) sampai ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri.”

[HR. Bukhari, no. 13 dan Muslim, no. 45]



Jadi kalo mau beriman, pas dirinya mendapatkan kenikmatan dalam hal agama, maka wajib baginya mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya mendapatkan hal itu. Jika kecintaan seperti itu gak ada, maka imannya berarti dinafikan sebagaimana disebutkan dalam hadits.


Mungkin kisah abang ojol semalam itu tanda bahwa abang ojol tersebut orang yg beriman ya. Ia hendak mengingatkan, dan mungkin khawatir karena aku muslim dan berada di tempat non muslim. Makanannya gimana, dan lain sebagainya makanya bertany demikian. 

Alhamdulillah Allah kasih lagi sebuah hidayah. Bahwa rezeki itu bentuknya banyak, salahsatunya dari pertanyaan tersebut. Masih ada banyak orang yg peduli. 


Inget, fokusnya tuh bukan estu-sentris. Tapi Allah-sentris. Dan biarkan semua rahmat-Nya dan rezeki mendekatiku sesuai perhitungan-Nya. 



Mudah-mudahan semua kebaikan-kebaikan yang dilakukan bernilai ibadah dan dilipatgandakan oleh Allah. 


Barakallahu fiik. 

Melihat Yang Lelah Melangkah Kembali

Jumat, 10 Desember 2021

Keganjilan ini membuat kita terperangkap,

meskipun belum bisa genap,

semoga langkah yang lelah itu tidak membuatmu pengap,

dan meski jalan di depan masih gelap.


Karena seorang pemuda melankolis yang banyak pikiran

sepertimu

harusnya tetap akan kembali

menyapa basa-basi seperti kawan lama


Tidak ada yang meninggalkan ataupun ditinggalkan.

Karena pada akhirnya aku mengerti.

yang penting,

kita sama-sama melangkah lagi.


Mungkin didepan sana memang bukan kamu.

Mungkin didepan sana memang bukan kita.

Mungkin didepan sana memang bukan aku.

Bukan masalah besar, kan?


Meski visinya sama,

tapi misinya beda.

dan itu tidak apa-apa.

selama masih hidup dan nyata.




ya, kan?




Kalau boleh kubilang, 

terima kasih yaa, untuk tetap bertahan

meski seluruhnya menyudutkan.

Terima kasih yaa, mau tetap bergerak

meski semuanya meninggalkan.




Terima kasih telah kembali,

untuk menyapa dan pergi lagi.

Selalu Ada Alasan Untuk Setiap Langkah

Kamis, 09 Desember 2021
Menjadi berani tidak pernah mudah bagiku, dan barangkali bagi kamu juga. Ketakutan selalu jadi mimpi buruk untuk setiap tindakan. Mempengaruhi diri menjadi banyak mikir tanpa eksekusi yanh jelas karena mengedepankan ego untuk bermain aman. 


Oh sudah barang tentu karena seringkali salah mengambil keputusan, rasa berani itu hanya hadir tipis-tipis dibandingkan dengan ketakutan.

Bagiku, satu keputusan berpengaruh besar untuk hidup yang bisa jadi jauh lebih berantakan. Lebih kacau dan makin bingung maunya apa. 

Bagiku, satu keputusan bisa berarti menyakiti seluruh pihak. Termasuk menghancurkan ekspektasi sendiri, menghancurkan ekspektasi orang yang disayangi, dan artinya aku perlu melepas mereka yang pergi lantas membuat diri jadi rusak dan tidak tahu harus dari mana untuk diperbaiki.

Bagiku, satu keputusan berarti tentang ego terakhir yang berusaha defensif atas cita dan cinta yang dimiliki. Artinya, aku berperang melawan diri dan bahkan dunia ini dengan taruhan idealisme masing-masing, demi menyatakan aku tidak main-main dengan seluruh ucapanku. 


Menjadi berani dengan punya satu keputusan itu menakutkan. Namun sisi lainnya, itu harus dilakukan. Aku tidak pernah berani ambil satu keputusan, dan menunggu seseorang memojokkanku pada satu kondisi dan pada akhirnya, barulah aku memilih satu keputusan. Pola yang menyebalkan dan lama. Sebab itu artinya aku selalu membuat keputusan dalam keadaan terdesak. Dan butuh orang lain sebagai trigger utama. 


Sampai hari ini, setiap langkah yang kulakukan selalu punya orang lain sebagai alasan. Tidak ada yang benar-benar karena aku. 


Aku terlalu abai dengan diriku sendiri. 


Menurutku, saat sudah tidak ada lagi yang harus dipertahankan dalam hidup kecuali keimanan dan percaya ini bentuk pertolongan-Nya, mendadak rasa takut itu kalah dengan keinginan untuk memulai semuanya dari awal. Membuang apa yang pernah dimiliki dan mencari apa yanh baru. Meskipun itu terasa ganjil. 


Aku sendiri pergi ke tempat asing, memacu diri pada kesendirian lain yang lebih sepi dan minim apresiasi, sambil berharap kali ini bisa mengobati rasa penyesalan demi penyesalan di masa lalu. Berharap dengan ini, aku jadi tau apa yang aku mau dan apa yang sebenarnya Allah inginkan dariku. 


Mungkin aku lebih beruntung karena tidak benar-benar membuang semuanya, tidak benar-benar memulai dari nol. Aku hanya melanjutkan apa yang sudah kumulai. 


Tidak ada tombol restart dalam hidupku. 


Alasan-alasan masih tetap dibutuhkan untuk memotivasi diri di tempat asing dan menempa hati agar tidak lagi menerima ketidakjelasan. Tapi kali ini, alasan-alasan yang dibuat jauh lebih sederhana, hanya untuk-Nya. 


Mencari sebagian rahmat-Nya sebagai bentuk balasan cinta kepada Rabb semesta alam.


Tidak ada lagi alasan pelarian untuk memulihkan luka. Tidak ada lagi alasan menyendiri karena tidak ingin dikomentari. Tidak ada lagi alasan pergi karena rasa bersalah. Tidak ada lagi alasan menyesal atas hal yang telah terjadi. Seluruhnya kuterima sebagai identitas di masa lalu. Aku yang hari ini tidak ingin lagi beralasan karena diri sendiri. Selalu ada Rabb yang jadi alasan utama dibalik setiap keputusanku.

Dan jika seluruh keputusan yang telah dibuat berujung pada berakhirnya apapun itu, aku tidak akan kecewa. Karena Allah lebih tahu mana yang aku mampu daripada egoku.

Semoga tetap dalam koridor kebaikan dan bukan semata-mata memberi makan ego dengan menjadikan cinta-Nya sebagai alasan. Semoga selalu dalam lindungan Allah dalam melakukan kegiatan. Diberkahi dan disayangi seluruh makhluk ciptaan-Nya dimanapun berada.

Doakan orang lain, maka yang lain akan mendoakanmu.







Barakallahu fiikum. 

Yang Tak Kasat Mata

Rabu, 08 Desember 2021
Setengah tahun berlalu, dan rasanya kian jauh dari apa yang dahulu diperjuangkan namun didekatkan dengan apapun yang jadi kebutuhanku.

Meskipun tidak mengerti, sebenarnya sudah betul atau belum, langkah yang kuambil ini tepat atau tidak, aku berusaha maju dulu, menjebol dinding defensif yang dibangun tinggi demi ego pribadi.

Kali ini lawannya bukan ia yang dapat peringkat satu. Tapi lawanku kini adalah aku.


Setelah sementara selesai, satu-satunya pintu yang terbuka adalah rumah. Dan disanalah duri-duri bersumber yang menyebabkanku membangun dinding defensif tinggi dan tebal. Supaya durinya tidak menyakitiku. Padahal yang seharusnya kulakukan sejak dulu adalah memangkas duri itu. Bukan membangun dinding penghalang yang sama sekali tak menolong.


Setengah tahun dihabiskan dengan segala macam kesibukan sedikit banyak bisa melihat dan evaluasi mana saja hal yang jadi prioritas dan mana yang perlu keberanian lebih untuk bisa diwujudkan.

Sebab sejauh mana aku berharap, jika digantungkan pada manusia lagi, maka layaknya kaca yang diterjunkan dari ketinggian. Hancur berkeping-keping.


Tapi Allah tidak mungkin salah kasih takdir. Pertemuanku dengan berbagai macam manusia telah menggiringku pula ke pintu hidayah.

Tidak ada yang lebih menenangkan dibanding telah mengenal siapa pencipta kita, sehingga apapun yang terjadi bukan lagi penuh kekecewaan. Bukan lagi keluhan karena kurangnya dimengerti manusia. Bukan lagi kesedihan karena kurangnya diri ini. Tapi bisa dengan tegar kuucapkan,
Alhamdulillah... Segala puji bagi Allah Tuhan Semesta Alam yang telah menghidupkanku dan mencukupi apapun kebutuhanku. Kuterima seluruh takdir-Mu wahai Allah yang Maha Cinta.


Dan nanti, kuyakini kamu juga akan mengerti. Entah hari ini, esok atau di masa depan, bahwa ini bukanlah tentang seberapa banyak usaha yang kita lakukan untuk orang lain, tapi seberapa banyak usaha yang kita lakukan untuk mendapatkan ridho-Nya. Supaya Allah tidak marah dengan kesalahan yang kita pernah lakukan. Fokuslah pada pencipta kita, biarkan Allah yang menunjukkan apa yang harus kita lakukan.


Semoga selalu jadi reminder untuk diri sendiri ketika sedang tergelincir.


Barakallahu fiikum. 

Berhenti Khawatir

Minggu, 05 Desember 2021
"... Manusia itu sangat zhalim dan bodoh. "


Berulang kali surah Al Ahdzab ayat 72 diperdengarkan, sampai penggalannya kutulis sebagai pembuka tulisan hari ini. Sebagai pengingat dan mengenang kalau aku telah melakukan kebodohan dan semoga tidak berulang kembali. 


Kutipan dari Rumaysho mengenai surah ini adalah, Allah Ta’ala menerangkan mengenai beratnya amanat yang diemban. Amanat ini adalah menjalankan perintah dan menjauhi larangan-Nya. Amanat ini ditunaikan dalam keadaan diam-diam atau tersembunyi, sebagaimana pula terang-terangan. Asalnya, Allah memberikan beban ini kepada makhluk yang besar seperti langit, bumi dan gunung. Jika amanat ini ditunaikan, maka akan memperoleh pahala yang besar. Namun jika dilanggar, maka akan memperoleh hukuman. Karena makhluk-makhluk ini takut tidak bisa mengembannya, bukan karena mereka ingin durhaka pada Rabb mereka atau ingin sedikit saja menuai pahala.

Lalu amanat tersebut diembankan pada manusia dengan syarat yang telah disebutkan. Mereka mengemban dan memikulnya, namun dalam keadaan berbuat zalim disertai kebodohan. Mereka senyatanya telah memikul beban yang teramat berat.



Lantas setelah mengikuti kajian Riyadhus Shalihiin mengenai bab amanat, ternyata besar sekali tanggungjawab sebagai khalifah di bumi. Belum lagi setelah aku membaca tulisan Ust. Harry Santoso mengenai Fitrah Life Based yang juga tentang amanat. Masyaallah... Sekurang bersyukur itu aku pada pemberian-Nya. Sedih sekali ternyata aku sangat zhalim terutama pada diri sendiri. Mungkin kepada orang lain juga. Hanya aku ga sadar saja. 


Amanat-amanat itulah yang seharusnya kufokuskan untuk terus mencari tenang dan wajah Allah tanpa terganggu oleh pandangan manusia lain. Tapi rupanya aku belum mampu. Masih terasa sulit apalagi ketika yang menjadi ujiannya adalah si ganjalan tisu dalam hati.

Maha Cinta, sesungguhnya apa yang Engkau inginkan atas pertemuan ini? Iya kah ia menjadi qowwam ataukah sekali lagi sebagai bukti ke-Maha Suci-an-Mu dan melindungiku dari keburukan?


Mungkin bila boleh meminta, biarlah yang kemarin menjadi cerita. Biar saja pudar dengan sendirinya. Tidak perlulah lagi tarik ulur jika akhirnya hanya sebatas mengisi gelas kosong bukan untuk memenuhi gelasnya.


Maafmu diterima, maafku diterima. Lantas apa lagi yang dicari dari cerita dua orang yang sedang mencari Tuhannya? Bukankan sudah cukup bekal untuk maju? Kita kan sedang mencari apa yang tertinggal di masa lalu, untuk sembuh di masa depan.


Saking bodoh dan zhalimnya, yang kukhawatirkan malah kau, bukan dosa-dosa karena lalainya aku menunaikan amanat. Aku rasanya ingin membenci diriku seperti yang sudah-sudah, tapi Allah yang Maha Cinta begitu baik padaku sampai segan. Jika aku membenci diriku, itu kan sama artinya dengan membenci Dzat yang menciptakanku. Mana sudi aku membenci Allah yang Maha Baik. Tidak sepatutnya aku zhalim pada diriku sendiri.


Jadi, bolehkah aku minta untuk berhenti sementara? Berhenti khawatir terhadap apa yang menjadi takdir-Nya. 


Aku tak masalah sendirian dulu sampai amanat-amanat yang kumiliki rampung. Aku ingin mengenal Rabb yang menciptakanku lebih dalam lagi, dan jika Allah mengizinkan baru kita bisa mengenal-Nya bersama-sama.


Aku gak mau salah langkah lagi.

Siapa yang Nanti Merasa Beruntung?

Sabtu, 04 Desember 2021

Sebuah perenungan dan dituliskan secara jujur ketika seorang kerabat mengirim undangan pernikahan ke grup. Ia meminta maaf bahwa undangannya hanya sebatas digital yang dalam hati kukatakan bahwa ia terlalu perasa, bahkan aku tidak ingat kalau punya teman-teman di SMP dan tak ingat ada nama dia di grup angkatan.


Dan dari undangn tersebut, dibagian bawah ucapan-ucapan, banyak yang bilang beruntung mendapatkan wanita tersebut karena masakannya enak.

Lantas aku jadi berpikir, jika aku mendapat kesempatan untuk menikah (sesuatu yang terasa tidak nyata bisa terwujud setelah berkali-kali gagal), apakah yang bisa pasanganku dapatkan ketika memilihku? Apakah ia akan merasa beruntung? Sedangkan yang kutahu diriku ini masih ampas dalam kehidupan.

Terlalu sering naif dan miskin ilmu, serta sering sok tahu dalam menilai sesuatu. Khawatirku masih memburu daripada rasa tenangku.

Dan jatuh cinta dengan dipayungi rahmat Allah masih menjadi harapan besar untuk bisa terwujud, meskipun dalam langkahnya masih terseok-seok dan sering tergelincir.


Bila menantimu adalah tabungan kesabaran, mungkin karena wadahnya cukup besar jadi perlu waktu lebih lama daripada yang lain agar terkumpul.


Jika ia yang datang gak se worth it itu untuk kamu tunggu, sudahlah, lepaskan saja. Ini bukan tentang siapa yang paling lama bertahan kok. Bukan juga soal siapa yang jadi jahat, bukan soal siapa yang paling pengertian. Tapi siapa yang paling sesuai dengan kehendak-Nya.

Ayolah, mau sampai kapan terjebak dalam angan-angan tanpa tepi?

Sadari kalau kamu masih harus berjalan dan menunaikan amanat-amanat lain yang lebih besar daripada memikirkan ia yang tak pasti.


ーSiapa yg merasa beruntung saat bersamaku nanti? Ditulis 4.12.21