Top Social

cerita-cerita untuk dikenang

Pertanyaan Untuk Diriku Sendiri

Sabtu, 29 Januari 2022
Malam menggulung bersama dengan angin yang biasanya menjadi tanda hujan akan turun. Teman-teman di kantor sebagian besar sedang bersiap untuk perayaan tahun baru mereka. Sedangkan aku bersiap untuk perayaan patah hati lagi.


Tahun baru, katanya waktu yang tepat untuk mengubah diri.


Tapi kayaknya aku belum siap untuk berubah. Gak siap karena seperti yang Taka utarakan dalam lirik lagunya;


So they say the time takes away the pain, but I'm still the same.


Masih sama seperti aku di tahun 2021. Mungkin lebih baik daripada aku di tahun 2018 atau 2019, bahkan 2020. Dealing with the griefs, dealing with all the issues, dealing with the feeling. Tidak pernah mudah untuk setiap orang mau memvalidasi bahwa apa yang aku rasakan adalah benar-benar terasa. Kebanyakan dari mereka yang mendengar akan selalu berupaya agar aku segera bertindak untuk mengenyahkan perasaan itu. Yang mana, justru, membuatku semakin bingung. Aku nih lagi ngerasain apa sih? Harus apa sih?


Ngomongin soal persiapan patah hati, mungkin setahun atau lima tahun kedepan aku akan ketawain tulisan ini. Tapi biasanya aku gak pernah mau mendokumentasikan dalam bentuk tertulis ketika sedang di fase ini. 

Umumnya, kubiarkan luka dipendam sendiri. Atau akan kubuat layer demi layer untuk menutupi kesedihan dengan memasang topeng didepan semua orang. Atau, bahkan sampai menyakiti diriku dengan terus menerus mencari dia dalam setiap kegiatanku.


Sayangnya tahun ini aku tidak ingin diam begitu. Tahun kemarin kucuran cinta-Nya begitu deras, sampai aku sungkan untuk 'kembali' menjadi umum.


Mungkin akan aneh bagi semua orang, kalau kubilang aku butuh dipertemukan lagi dengan mereka. Membiarkan diri ini sekali lagi tersudutkan. Untuk kemudian memilih untuk pergi atau bertahan sekali lagi, dan mengetahui batas sakitku. Keras kepala. 


Pertanyaan besar setelah seluruh episode ini sudah nyaris di akhir, adalah aku mau apa? 


Sudah sejauh ini untuk menapaki jalan yang terbuka, lantas aku mau apa? 

Pertanyaan ini yang terus mengusik hati, melahirkan pertanyaan lainnya. Sebutuh apa aku terhadapnya? 

Bila ia pernah mematahkanku, seberapa kuat untuk tetap tumbuh? 

Seberapa banyak lagi yang perlu ditoleransi? 

Seberapa lama aku untuk bisa hidup tanpa belenggu? 

Seberapa siap untuk pergi tanpa menoleh lagi? Atau.. Seberapa siap untuk ada tanpa menyakiti diri? 

Bagaimana untuk berani menghadapi tanpa menghapus senyum di masing-masing?



Sekali lagi, ini menjelang akhir dari episode patah hati. Aku perlu mempersiapkan diri merayakannya. 


Dan hujan pun turun.


Gemerisik air hujan terdengar bagai melodi dari lagu duka cita. Sebenarnya, sebagian besar aku sudah tahu mau jawab apa dari pertanyaan tadi. Tapi perlu dipahami, bahwa aku cukup keras kepala dengan jawabanku sendiri.

Maka kali ini, biarkan pelan-pelan cara-Nya yang menuntunku untuk menuliskan jawaban secara tepat dan tanpa syarat.