Top Social

cerita-cerita untuk dikenang

Juli

Senin, 01 Juli 2019
"Aku maunya kamu, ngerti gak sih?"

"Lah, kesel deh! Masa nggak ngerti juga padahal aku sudah sejauh ini, lho?"

"Aku sudah sampai percaya banget lho sama kamu, kamu nggak kasihan sama aku?"

"Udahlah, kamu pergi aja. Aku nggak mau kamu tinggal sama aku cuma karena kasihan."

"Kamu kapan pulang? Aku kangen."

"Kamu tuh gak ngerti-ngerti ya, aku kan cuma mau kamu! Cuma gak berani bilang aja, ngertiin dong!"

"Eh, lihat deh aku bentar lagi mau lulus ta−"

Perempuan berambut kusut sepunggung itu berhenti bicara dan termenung mendapati ruangannya sepi, tak ada satu pun teman bicara sedari tadi. Perempuan itu menatapku yang sedang berdiri di depan pintu kamarnya yang wangi melati, tapi tidak peduli. Ia malah kembali berbaring di ranjang tanpa sprei itu dan mulai menangis seperti yang sudah-sudah.

Aku tidak tahu apa yang terjadi padanya, semua orang tidak bicara apapun kecuali mengatainya perempuan gila. Suara tangis yang makin lama mulai terdengar menyedihkan membuatku berani memasuki kamarnya yang kosong, kecuali sebuah figura di dinding kamar kusamnya.

Foto seorang lelaki berwajah masam yang merangkul seorang perempuan yang sedang tersenyum. Mereka berdua menggunakan pakaian formal seperti sedang wisuda, ada tulisan kecil dibawahnya 'Juli & Janu'.

Ujung mataku menangkap perempuan itu bergerak dari ranjangnya. Aku mundur, merasa tidak sopan masuk ke ruangan orang lain tanpa izin−sekalipun perempuan itu tidak peduli kamarnya dimasuki siapapun− dan mendapati wajahnya yang muram disertai sisa tangisan di pipinya yang kurus.

"Aku suka foto, sukaaa banget. Tapi dia nggak."

Tiba-tiba saja perempuan itu bercerita. Aku hanya menatapnya dari samping, menunggu cerita selanjutnya.

"Dia bilang gak suka foto karena nanti bikin nostalgia. Dia gak suka kenangan, terus aku kesel dong dia ngomong gitu," Perempuan itu sedikit terkekeh, suaranya terdengar ceria. "masa dia gak mau dikenang sih? Di dunia ini kalau kita mati, kita cuma bakal tetap hidup dikenangan orang lain. Kalau tidak ada yang mengenang, kasihan gak sih hidupnya? Dia tuh mau terhapus dari dunia ini apa gimana coba?"

Bukan sebuah pertanyaan, aku tahu. Perempuan itu hanya ingin bicara.

"Terus aku baru sadar deh, kayaknya aku ngerti kenapa dia gak suka foto, gak suka kenangan."

Aku diam, masih menunggunya bicara. Perempuan itu malah menatapku, pandangannya selurusan dengan mataku meskipun ia lebih tinggi dariku. Matanya coklat gelap−nyaris hitam− dan ya Tuhan matanya besar dan cantik, sayangnya kosong. Rasanya aku bisa melihat diriku dengan jelas pada mata perempuan itu.

"Kamu tahu gak, kenapa?"

Suaraku hilang, aku tenggelam dimatanya hingga kehilangan kemampuan untuk bicara. Aku menjawab dengan hening, dan perempuan itu kemudian menatap figura itu lagi sambil mulai bicara.

"Karena foto tidak berubah meskipun keadaan berubah." jawab perempuan itu.

"Kamu bisa pergi gak? Aku kangen Janu, bukan kamu."

Perempuan berambut kusut itu ternyata bisa risih dengan kehadiran orang lain. Aku melangkah pergi dan menutup pintu kamarnya. Kulihat perempuan itu kembali bicara sendiri dengan figura−dengan Janu, seperti yang tadi disebut− sebelum aku benar-benar menutup rapat kamarnya.


Juli, sesakit apa kehilangan dan rindu yang kamu rasakan?