Top Social

cerita-cerita untuk dikenang

Biarkan Semesta Bergerak Sendiri

Minggu, 30 Desember 2018
Malam semakin larut dan rutinitasku kembali pada zaman purba, tidak tidur. Setiap hari ada saja kegiatan yang entah aku paksa lakukan untuk menyibukkan diri, padahal diriku sendiri tahu kalau itu hanya pengalihan isu dari sesuatu yang sedang tidak mau aku hadapi, atau kita.

atau kita?

Lagi-lagi aku masih tidak bisa percaya dengan yang sudah terjadi di awal bulan ini. apa kita ini masih kita atau bukan lagi kita? sebut saja memang aku sangat kecewa dengan semudah itu kamu berkata iya pada pernyataan yang seharusnya bisa dilobi agar berhenti, atau aku memang sangat marah dengan sikapmu yang ogah-ogahan dengan keberadaanku, atau kecewa dengan sikapku sendiri yang mudah berprasangka padamu dan kamu sendiri tidak mau menyangkal prasangka yang aku sebut tadi supaya aku tidak lagi berprasangka.

masihkah ini kita? atau aku saja?

Masih ada banyak hal baik yang aku ingat tentangmu, masih banyak kerinduan yang belum sempat aku sebutkan, masih banyak mimpi yang belum kita wujudkan berdua. ya, berdua saja. aku dan kamu.

tapi aku terburu nafsu untuk berlalu, dan kamu terlalu ragu dan malah setuju.

Padahal aku yakin kita bisa, ini hanya kesalahpahaman seperti biasanya kita. Tapi, lagi-lagi aku masih tidak percaya. Aku enggan berlalu, dan. aku sudah bilang satu dari seribu, aku mau kamu. masih tidak bisa mengertikah kamu?

Kalau saja stik ps-mu itu bisa bicara, dia pasti mengeluh dimainkan seminggu penuh karena kamu melarikan diri dariku. 

Kamu bilang jalanmu masih panjang, aku jangan menunggu, aku jangan terlalu berusaha mendapatkanmu, aku jangan sakit, aku harus tetap hidup, aku harus bahagia.

Kamu bilang ini murni kesalahanmu, padahal aku juga berperan dalam kisah ini. apa kamu gak anggap aku sama sekali?

Jika kamu bilang seperti itu, maksudmu apa?
Kamu mau berjalan sendirian lagi?

Aku gak mau kamu berada di pelangi abu-abu lagi,
aku mau kamu, kita.

lalu bagaimana dengan kamu?

yang kuingat terakhir kali aku cuma bilang untuk kamu menyelesaikan skripsimu.
yang kuingat terakhir kali aku cuma bilang untuk kamu menghubungiku kalau sudah sidang.
yang kuingat terakhir kali aku cuma menerima suapan es krim dari tanganmu,

aku harus bagaimana kalau kamu bilang jangan berusaha untuk mendapatkanmu, padahal aku sangat ingin mengetahui kabarmu? apakah bertanya padamu langsung atau bertanya-tanya dalam hati sendiri seperti biasanya? karena yang aku tahu, kamu tidak suka kalau aku terlalu banyak tanya.

Biarkan semesta bergerak sendiri. Semoga dengan membiarkan kita dan waktu, aku dapat menggerakkan hatimu kembali padaku dan menjujurkan aku pada hatimu.
Aku kangen lantunan shalawatmu, nasihat, ungkapan lucu, dan banyak hal lain yang semakin lama justru semakin kuat bisikanku pada bumi.

Semoga bisikanku terdengar di langit dan hatimu.


maafkan aku rindu.

Jangan Percaya Siapa

Minggu, 16 Desember 2018
Jangan Percaya Semua Orang



Ada banyak kutipan yang bisa terekam jelas dikepala tanpa disengaja.
Padahal hanya lihat satu kali,
Padahal hanya kutipan,
yang entah untuk siapa.

Percayalah dengan Yang Maha Kuasa,
jangan percaya orang,
jangan percaya semua orang,
jangan.

Hiduplah berbekal yakin pada hati,
bahwa semua yang bernyawa akan kembali.
Semoga Allah cukupkan hidupmu.
Semoga selalu dalam lindungan-Nya.

Dari Siapa Untuk Siapa

Jumat, 14 Desember 2018
"Bahwa hakikat tertinggi dari mencintai adalah untuk melepaskan"



Apa yang sedang berjalan bersamaku? Apa yang sedang aku perjuangkan? Apa yang sedang aku lakukan? berhari-hari aku memikirkan ini hingga tidak terasa sudah lebih dari 450 hari berlalu sejak hari dimana tanda tanya semakin besar memenuhi ruang di tempurung kepalaku.


Memang takdir, semua yang terjadi ini sudah ada skenarionya dan pencipta skenario terbaik hanyalah Tuhan. Sebagus dan seindah apapun khayalanmu, jika Tuhan bilang tidak ya, tidak. Toh, kita sebagai pemain peran tidak tahu sesungguhnya ada bahaya apa jika memaksakan khayalan kita sendiri dalam skenario semesta.


"Bahwa hakikat tertinggi dari mencintai adalah untuk melepaskan"


kalimat diatas merupakan sebuah kutipan dari novel yang kubaca ulang beberapa minggu terakhir. Sebagaimanapun aku nantinya jika mencintai seseorang, pada akhirnya yang bernyawa akan pulang pada Sang Pencipta.


Aku ingin lepas, agar tahu seberapa besar kamu mencintaiku, jika kamu memang merasakannya. atau jika aku yang merasakannya, maka aku sudah mencintaimu? merasakan apa? cinta? dengan melepasmu artinya aku mencintaimu, begitu ya?


Entah kamu mau percaya atau tidak, dengan melepaskan kamu dan aku bisa mengetahui apa itu cinta. pertanyaanmu yang dahulu (sampai hari ini ketika aku mengetik ini disini) belum terjawab. Keterbatasanku dalam melihat dan merasakan cinta masih sempit, kuasa Tuhan dalam mencintai hamba-hambaNya saja belum aku pelajari. Aku harap kamu bisa lebih tahu duluan dibanding aku. Supaya nantinya kamu bisa mengetahui siapa saja yang mencintaimu.


Karena aku belum.


Maafkan aku karena belum tahu bagaimana caranya mencintai, sebagaimana orangtuaku mencintaiku tanpa banyak pertanyaan; sebagaimana sahabatku mencintaiku tanpa banyak protes dengan keputusanku; sebagaimana aku pernah tidak mengeluh dalam menunggu seseorang.


Aku inginmu, kamu inginku.
Kamu belum butuh aku, sebagaimana aku belum membutuhkanmu.
Terjebak pada rasa terlalu lama menjadi zina.
Padahal rindu menggebu ingin bersatu,
Tapi persiapanku masih satu dari tiga.


Aku berencana menyuruhmu menunggu, tapi apa kuasaku?
Apakah itu lebih baik atau lebih buruk, siapa yang tahu?
Aku hanya manusia biasa yang tidak memiliki kekuatan apapun.
Dialah Yang Maha Mengetahui dan Maha Pengampun.


Meskipun ragu, aku tetap berjalan maju.
Maafkan aku meninggalkamu.
Maafkan ego dan ketidaktulusanku.
Aku melepas bukan dilepas.


Sebab sampai detik terakhir, ragumu tetap menyakitiku.


Aku ingin jatuh cinta, secara benar, secara tenang dan berbagi keluh kesah. bukan hanya datang ketika butuh, atau sekedar menyentuh.

Aku ingin jatuh cinta, secara menyeluruh, rapuh, dan tidak terkendali. bukan hanya meringkuk penuh tanya dan cemas pada apa yang sedang kurasakan seolah aku mampu dan terkendali.


Aku mengerti kamu kecewa, mungkin ada lega yang sedikit terselip diantara perasaan bersalahmu. Jangan maaf lagi, sebab yang harusnya maaf adalah sikapku yang berulang kali menyakitimu. berulang kali tanpa sengaja candaanku melukaimu. berulang kali dengan sengaja menyudutkanmu sebagai bentuk pertahanan diri, dan semua kata-kata yang kamu baca dariku adalah racun.


Jika kamu kuat, racun akan membuatmu kebal, jika kamu lemah maka racun akan membuatmu binasa. Bertahanlah, kamu harus bisa kebal.


Aku harap kamu mengerti, bahwa yang luka bukan hanya dirimu. Kecewa itu bukan hanya kamu yang merasakannya, hampa yang kamu rasakan itu juga bukan cuma kamu sendiri. Aku paham bagaimana bodo amatnya kamu dengan dirimu sendiri, sibuk berkegiatan ini dan itu sebagai pelampiasan dari kehampaanmu. "Ah, tidak juga. Sok Tahu." ucapmu mencibir jika aku mulai sok menganalisa dirimu. Tapi sungguh, kamu perlu memperhatikan dirimu sendiri juga.


Kepasrahanmu membuatku gelisah.


Hingga saat ini, aku masih resah. Ada rasa bersalah yang timbul saat ritme hidupmu kembali.


Apa kita tidak lagi satu frekuensi?


Aku bertanya-tanya dalam hati sambil terus merapal mantra yang pernah kau ucapkan padaku.
Ya muqollibal quluub tsabbit qolbi 'alaa diinik
(Wahai Dzat yang Maha Membolak-balikkan hati, teguhkanlah hatiku di atas agama-Mu). Terlalu banyak bertanya artinya ragu, dan aku terus beristighfar agar hilang keraguanku, atas kehendakNya.


Mungkinkah ini adalah cara-Nya untuk membuatku menghapal doa-doa dan puji-pujian melalui kehadiran yang kini menjadi kehilanganmu?


Jika memang mencintai adalah untuk melepaskan, maka dengan begini kita sudah saling mencintai.