Tentang kerja keras ....
ada orang yang demi uang enam puluh ribu, harus menguras tenaga mencuci mobil orang lain datang ke rumah orang tersebut,
ada orang yang hanya tinggal menunggu tanggal gajian sudah dapat berkali-kali lipat dari enam puluh ribu,
ada orang yang setiap harinya galau memikirkan mau makan apa sambil menggulirkan layar smartphone dan buka shopeefood,
ada orang yang dengan mudahnya membelikan orang lain makanan lewat online, ada yang untuk makan sehari-hari aja bingung harus cari uang ke mana
jadi kerja keras itu yang seperti apa, kalau ada orang yang bisa dapat puluhan juta dalam sedetik di NFT?
jadi kerja keras itu yang seperti apa, kalau ada orang yang kerja pagi ke dini hari lalu uangnya langsung habis untuk kebutuhan sehari-hari?
jadi kerja keras itu yang seperti apa, mengorbankan segalanya demi apa?
apa aku orang yang bekerja keras?
apa aku sudah bekerja keras?
ada orang yang bekerja tapi mencuri waktu
waktunya kerja malah berleha-leha
giliran kejar tayang malah resah kok kerjaan gak kelar-kelar
ada juga yang bekerja seperti robot
tiada henti tiada waktu
tiap hari pagi sampai pagi lagi, isi kepalanya penuh dengan rentetan jadwal pekerjaan harian, mingguan, bulanan, bahkan tahunan
menghibur diri dengan bekerja, tapi satu sisi ingin mengeluh dengan kerjaan
ada yang memilih bekerja terus meski cibiran orang kantor sering didengar sehari-hari
ada yang memilih berhenti bekerja karena ada pekerjaan lain yang menurutnya lebih baik
ada yang memilih tidak bekerja karena belum ada kesempatan
tentang kerja keras, seberapa keras sih 'kerja' itu?
Jadi setelah pengakuannya, ada beberapa hal yang membuatku berpikir ulang tentang menulis di blog:
1. Apakah ini adalah benar jadi media persembunyianku sedangkan blog yang kutulis artikelnya ini dipublikasi secara masif bahkan dipajang pada bio sosmed
2. Apakah ada manfaat untuk, minimal diriku sendiri ketika membaca ulang, dan tidak menjadikanku ujub atau jumawa ketika ada orang lain yang membaca
3. Apakah tulisanku menyakiti hati seseorang dan malah membuka aib sendiri secara tanpa sadar, hingga membiarkan orang lain masuk dan memberi celah untuk mereka mendekati dan bersimpati
Bagaimana jika itu semua membuatku merasa harus terus menulis karena termotivasi ada yang baca? Padahal niat awalku hanya ingin mengenang hari-hari selama ini China Town. Kekhawatiran ini menimbulkan pertanyaan, untuk siapa tulisan-tulisan ini dibuat? Untukku? Untukmu? Untuk-Nya?
Banyak diantara tulisan yang sudah dipublikasi di laman blog ini adalah tentang orang lain yang terhubung denganku. Tidak jarang tentang keluargaku, dan tentunya sebagai pemilik blog, aku menulis untukku sendiri, aku sebagai hero dari cerita ini. Jika kembali ke awal paragraf ini, tentulah orang-orang yang pernah ada hubungan denganku jadi merasa terhubung kembali denganku setelah membaca apa yang kutulis. Sedikit banyak, aku merasa dicurangi karena ini jadi komunikasi jarum suntik; hanya sepihak. Maksudnya adalah, ketika ia baca, maka ia tahu kabarku, sedang aku gak tahu kabarnya.
Terbukti masih seberpengaruh itu kehadiran seseorang dalam caraku menulis. Kalau bisa kuceritakan pada orang lain, mungkin mereka yang mendengarkan akan memaksaku untuk move on dan melanjutkan menulis saja. Tapi jelas tidak kuceritakan karena aku saja bingung dengan apa yang terjadi. Pun sayangnya aku sedikit banyak paham tentangnya dan tentangku sendiri, kami tidak bisa semudah itu berlari, meski ada sebanyak apapun pilihan sepatunya. Rasa bersalah kami belum bisa terurai, dan dengan caraku yang seperti ini khawatir malah membuat simpulan tali mati di sepatu usang kami. Bukankah lebih baik untuk tidak menggunakan sepatu jika hanya ingin jalan kaki? Atau jika ingin lari maraton, kita gak bisa pakai sepatu kanvas karena akan sakit lama-lama kalau buat lari, kan? Analogi yang nyebelin ya? Kamu tapi paham tentang ini kan? Atau kamu membaca tulisanku untuk menghilangkan rasa bersalah yang agak menghimpit hatimu kala ada waktu senggang?
Maksudku.... aku mungkin gak sering-sering menulis di blog lagi. Cerita sehari-hari yang ingin kukenang akan ditulis di dua tempat, dan jika muncul di blog artinya tulisanku sudah ringan dan bisa dibaca sekali duduk. Makasih duhai Allah, selalu datangkan kamu sebagai pengingat. Sehat-sehat ya, kalau sakit jangan sungkan bilang tolong ke orang lain.
Rasanya jelas banget ini nulis bukan untukku aja, tapi khusus ke satu pihak ya.
Jangan berhenti, lanjut dulu fokusnya. Semangaaat!
Hari ahad adalah waktunya untuk melakukan sesuatu diluar rutinitas bekerja, idealnya. Tapi yang kulakukan tetap bekerja. Gak, bukan berarti mau jadi robot yang hidupnya di setting buat kerja, cuma kan bingung mau apa lagi selain kerja, maunya bepergian tapi ke mana yaaa antara gak tau mau pergi ke mana, soal uangnya, atau karena masih pandemi serem aja mau kemana-mana. Yaudah kerja aja solusinya, menyibukkan diri semoga tetap istiqomah jalan di bawah naungan sunnah.
Hari ini masih ditolong Allah, lupa istigfar bikin ada yang datang menggelitik dan bikin bertanya-tanya. Kemarin emang ada perjalanan cukup jauh dan seharian. Iya pas berangkat sih bisa istighfar, pas pulangnya lupa. Gak lama, menjelang subuh langsung didatangkan pemicu buat istigfar. Sebenernya ada apa, kenapa, biar apa, tapi pertanyaan yang gak ada ujungnya itu lebih baik gak disuarakan daripada lisanku bikin luka baru. Sebagai manusia yang lemah, aku malah membuka pintu untuk para syaitan masuk yang bikin makin lemah; berulang kali pula. Bukan dengan sengaja, kadang semampunya aku nutup pintu, syaitan itu bisa masuk sendiri, jago dia nyempil buat bikin was-was. Pintu masuk syaiton itu kan dari 3, yang pertama lalai, yang kedua syahwat hawa nafsu, yang ketiga amarah. Ketiganya aku buka semua. Lah, kan seneng ya syaitan-syaitannya, aku yang stres syaitan makin seneng. Pusing. Udah mah lalai dalam mengatur waktu, syahwat kemalasan, dan ada amarah yang merayapi hati...
Biidzinillah, lama gak berkabar lalu ada sapaan di waktu ashar. Mungkin kepencet sebelum subuh dan rasa ga enak kalau ga balas pesanku jadi menghabiskan dua waktu shalat untuk berpikir balasannya. Mungkin setelah itu ia juga justru gak tenang dan was-was sama sepertiku. Kayaknya nih si pintu syahwat ini terbuka. Bukan syahwat seksual, tapi syahwat ke perasaan. Sebagian senang, sebagian lainnya khawatir. Lagi adem ayem, berombak lagi. Ternyata aku tuh masih belum bisa baca pola pertolongan Allah, masih fakir ilmu banget. Nyaris terperangkap jebakan syaitan buat galau sampai hilang fokus segala, tapi cuma sebentar karena air wudhu punya kekuatan melunturkan emosi negatif. Dapet akses dari Allah biar gak terprovokasi sama hawa nafsu, alhamdulillah.
Ini cuma sementara, pun ini bukan milik kita, dari hati, pemikiran, tubuh, bahkan seluruh yang ada disekitar kita. Ini cuma titipan doang dan aku ada diatas janji Allah. Gak mungkin Allah ingkar janji. Fokus sama apa yang udah dimulai, hak Allah dulu, hak ilmu, hak orang tua, ditunaikan dulu. Niat ikhlasnya masih kendor deh kamu, tu. Coba deh revisi dulu dikit, biar lurus.
Manusia sangat mungkin suka salah ngomong, asal bicara, bikin baper sampai dianggap kayak janji buat yang dengar dan pas ia lupa, malah jadi dianggap bohong. Tolonglah, wahai hati, berdamailah... yang tenang ya. Ini semua terjadi bukan tanpa maksud. Ada hikmah di setiap apapun, buktinya jadi auto istigfar. Allah yang gerakkin tangan-tangan kita, terima kasih untuk memberanikan diri bersuara dan datang sebagai pengingat, meskipun kembali sembunyi secepat kilat.
Semoga Allah selalu kasih taufik dan hidayahnya untuk kita agar ga terburu-buru dalam bertindak, maaf masih kepo padahal lagi berusaha sama-sama fokus. Aku kepikiran dan yakin ada sesuatu, mungkin sudah sampai di titik jenuhmu, atau hal lain yang membebankan pikiranmu. Tapi maaf belum bisa membantu, kalau butuh sandaran biarlah Allah yang jadi tempatnya. Aku maupun kamu sama-sama lemah, gak bisa saling bersandar. Hati kita bisa berkhianat, kita pikir hati kita bisa dikendalikan nyatanya gak bisa kan? Mungkin karena kita gak punya kuncinya, makanya hati sering sulit diatur. Aku ada ingat status whatsappmu dulu, Rezeki itu diantar, kunci diantarnya rezeki itu taat. Sama, di surah Al-Anfal juga bilang;
"Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kamu kepada suatu yang memberi kehidupan kepada kamu, ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah membatasi antara menusia dan hatinya dan sesungguhnya kepada-Nya-lah kamu akan dikumpulkan. (QS. Al-Anfal:24)
Padahal sama-sama tau, tapi buat menerapkan ilmu itu memang masyaallah ya? Hati kayak terpisah, gak bisa diatur. Kalau Ust. Nuzul Dzikri bilang, balasan tergantung jenis perbuatan, kalau kita gak mau diatur sama Allah nanti Allah bikin hati kita ga mau diatur sama kita. Mungkin itu kali, yang bikin ucapanku sering ga sejalur sama perbuatanku. Khilaf berkali-kali sampai orang lain nyerah. Semoga Allah tetap membersamai sepanjang jalan hijrah dan taubat di mana pun berada.
Ada satu titik di mana ketidaknyamanan itu seperti lumpur hisap, semakin berusaha keluar semakin tertarik ke dalam sampai mungkin saja tenggelam dan menghilang. Ia mampu menarik ke dalam secara mendadak, ga jarang kepanikan didahulukan daripada berdiam diri sejenak, meminta bantuan. Beberapa kali sering malu ngaku ke diri sendiri tentang satu hal, dan jadi malah saling serang nyalahin pikiran A dan pikiran B padahal semuanya ada dipikiran kita sendiri, lebih jauhnya itu semua juga Allah udah atur biar kita bisa mikir A, B, sampai C-nya. Lupa kalau aturan dunia ini cuma satu, nurut sama Allah atau binasa. Berkali-kali nyaris binasa, kalau gak karena Allah yang nolong jelas sering nyasar, sering tersesat, sering gak ikhlas, sering mempertanyakan hal yang udah terjadi, jadi manusia yang gak bersyukur dan lebih banyak nurutin syaitan daripada Allah. Maafin estu ya Allah.
Tergelincir berkali-kali, gak ikhlas jadi hamba bikin gak bisa lepas dari syaitan. Mungkin hal-hal yang dirasa berat dan gak nyaman itu terjadi karena salah posisi, salah ruang, salah waktu, salah porsi, salah situasi, dan untuk mengatasinya harus bergerak, jangan begitu lagi, pindah, move, move on.
Pain and suffering are always inevitable for a large intelligence and a deep heart. The really great men must, I think, have great sadness on earth.”
― Fyodor Dostoevsky, Crime and Punishment
Manusia gak lepas dari penderitaan, ya gimana emang bumi adalah rumah duka dan kita tinggal di dalamnya. Cuma mungkin aku sekarang harus banyak refleksi, kadang-kadang rasa gak nyaman itu lahir karena kita yang gak mau berubah, karena ada kekakuan hati kita, sementara lingkungan sekeliling kita sudah berubah, akhirnya kita jadi terasing dalam hidup kita sendiri dan merasa ga nyaman, kayak tersiksa, jadi gak gembira.
Jadi aku sekarang nyoba buat berhenti, gak melawan perubahan, coba ngerangkul perubahan, coba meluaskan biar gak gelisah lagi. Semoga Allah terima dan dimaafkan segala kekurangan kita.
"Bagaimana kamu ingkar kepada Allah, padahal kamu (tadinya) mati, lalu Dia menghidupkan kamu, kemudian Dia mematikan kamu, lalu Dia menghidupkan kamu kembali. Kemudian kepada-Nya lah kamu dikembalikan." (Q.S Al-Baqarah:28)
Sebagai pengembara, dunia memang sangat menarik dengan berbagai hal. Dunia menyuguhkan sesuatu yang indah, meski terkadang jenuh, dunia punya banyak cara agar kita bisa berkutat hanya dengannya tanpa mengingat tujuan pulang. Kita tahu padahal isi dunia hanyalah sementara.
Semua hal bergerak. Aku, kamu, kita, kalian, semua orang, semuanya, sesuatunya. Waktu juga bergerak. Masa lalu tidak bisa diubah tapi bisa direnungi, apa hikmahnya dan apa perbaikan untuk yang akan datang. Semoga kali ini kesalahan yang lalu diampuni, dan taubat kita diterima.
Kita bukan tuhan, gak bisa atur semua urusan. Bahkan diri sendiri saja Allah yang gerakkin bukan atas kehendak kita pribadi. Mana mungkin Allah gak lihat kesalahan yang kita buat, sedangkan Ia sangat dekat.
Aku mau bergerak dan berlayar, sampai waktunya pulang.
Kepada setiap diam yang berisik di dalam kepala masing-masing, bolehkah aku mendengarmu bersuara?
Jangan keras-keras sama diri sendiri. Yang sayang sama kamu banyak, jangan dihempas gitu aja, sayangku....
"Darimana datangnya hujan? Dari air turun ke bumi. Darimana datangnya cinta? Dari mata turun ke hati."
Klasik. Hidup ini menarik dengan segala paradoks dan rahasianya. Tidak hanya soal hujan dan cinta dari petikan lirik lagu diatas, tapi lebih pokok lagi, yakni tentang menggantungkan harapan pada Yang Maha Pemberi Cinta.
Berisik ya, ngomongin cinta mulu.
Tapi kalo gak karena cinta, kita tuh ga ada di dunia ini. Kalo gak ada cinta, gak bakal ada manusia hidup karena ya... ga ada rasa welas asih, bakal ada perang.
Ngomongin cinta, gak lepas dari yang namanya kesan pertama. Pasti, sebelum jatuh cinta, ada momen di mana hati rasanya berdesir. Aih, berdesir. Syahdu banget. Hahaha. Intinya kesan pertama akan selalu terkenang.
Kesan pertama selalu berbekas. Sangat jelas meski sudah berlalu lama sekali. Misalnya saat pertama kali gak ranking 1. Subhanallah... Estu kecil ini gak pernah ngerasa bodoh lantas BOOOMMM momen pertama dapet sentilan dari Allah. Nangis, sedih, kecewa, sampai gak mau makan cuma karena gak dapet ranking 1 lagi. Berasa dunia hancur gitu kan selama ini bangga dan dibanggain orang sekitar. Jadi kalo gak ranking satu, yang ada di kepala estu umur 11 tahun waktu itu adalah, aku gak bisa dibanggain orang tua lagi. Masih kecil udah overthinking ya lol.
Aku kecil dihibur ibu, kata ibu gak rangking 1 juga gak apa-apa, kan udah berusaha. Allah tuh tau kok kita udah usaha. Trus sederet kalimat motivasi lain dan menyadarkanku satu hal:
Apa yang aku mau, gak selalu sejalan dengan apa yang Allah mau.
Kalau gak salah 2011, pertama kali mulai solat dhuha. Jarak kelas ke masjid itu harus lewatin lapangan basket, ruang guru yang panjang membentang dan lapangan parkir. Jauh banget masyaallah. Tapi berbekal tekad motivasi agar lulus UN di tahun depan, yaa tetap dikerjakan. Tahun pertama berhijab juga karena aturan sekolah. Abis itu berbagai guncangan mulai kerasa. Tapi setelahnya akan selalu Allah permudah apapun yang lagi dibutuhin.
Ujian hati itu lebih menggetarkan daripada ujian fisik. Terus ketika kamu mengalaminya sekali, sakit luar biasa. Dua kali, masih sakit cukup lama namun perlahan mampu kembali. Ketiga kali, sakit tetap terasa namun bisa terkendali. Proses yang salah akan membawa pada hasil yang salah pula. Namun baiknya Allah, meskipun prosesnya salah, diperbaiki oleh-Nya berkali-kali supaya aku mengerti.
Seseorang itu diuji menurut ukuran agamanya. Jika agamanya kuat, maka cobaannya pun dashyat. Dan jika agamanya lemah, maka ia diuji menurut agamanya” (HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah).
Ya Muqollibal Qulub Tsabbit Qolbi 'alaa Diinik (Wahai Yang Membolak-balikkan Hati, teguhkanlah hatiku senantiasa di atas agama-Mu).