Top Social

cerita-cerita untuk dikenang

Pertanyaan Tanpa Suara

Kamis, 28 Maret 2019
Jari bergerak kesana-kemari menekan huruf-huruf di keyboard, mata sudah tidak ada harapan untuk terpejam padahal tidur hanya tiga jam sehari, tubuh sudah meronta untuk berhenti tetapi memori tumpah ruah memenuhi seluruh aliran darah, memori-memori itu yang menyumbat aliran darah dan pernapasan hingga sakitnya sampai pada hati.

Benci sekali ia merasa sakit. Tidak mengapa jika tubuhnya yang lebam keunguan, bibirnya sobek bekas dihajar atau kepalanya bocor sekalian akibat lemparan batu. Tapi yang memar dan luka-luka adalah hatinya, dan ia tidak tahu bagaimana caranya agar luka-luka itu kering, karena semakin lama justru luka itu semakin besar dan basah. Sakit.

Ia tidak mungkin bisa lupa dengan wajah itu sekalipun ia ingin sekali melupakannya dan menghilang selamanya. Menghilang agar tidak bisa lagi bertemu dengan seseorang yang ia merasa tulus memberikan cinta. Sebersit amarah hadir, mengapa tidak bisa aku tegas untuk mempertahankan kamu? Katanya cinta? Mengapa cuma sampai segini saja perjuanganku? Lalu kecewa menambah garam pada lukanya. Mengapa pula kamu malah berlari meninggalkanku? Mengapa tidak mendobrak ragu agar kita tetap bersama?

Menghindar adalah satu-satunya cara untuk membuatnya tetap terlihat baik-baik saja dan membiarkan gadis yang ia cintai hidup baik-baik saja. Membiarkan gadis yang ia cinta hidup bahagia dan menjadi dirinya sendiri seperti dulu. Ia merasa kehadirannya di hidup gadis cantik itu hanya merusak saja, dan atas nama cinta yang ia sendiri tidak tahu maknanya, ia memilih untuk pergi. Meninggalkan harapan yang pernah dibuat bersama, meninggalkan perasaannya yang kini berserakan dihantam kenyataan.

Berpisah itu sudah biasa, yang tidak bisa membuatnya biasa-biasa adalah gadis cantik yang kini mulai kembali eksis di dunia maya. Apa ia sudah tidak apa-apa? Pikirnya selalu. Ia terlalu canggung untuk memulai obrolan setelah pesan terakhirnya tidak kunjung dibaca dan gadisnya pun sudah tidak iseng mengirim pesan singkat ke ruang obrolan lagi.

Ia selalu kehabisan napas saat ingat bahwa semua ini telah usai. Tidak menyangka kalau berakhir sepahit dan sesakit ini. Ia yakin sudah merusak gadisnya, entah butuh berapa lama bagi gadisnya untuk bangkit karena gadisnya selalu memasang banyak topeng agar terlihat baik-baik saja padahal ia sedang cidera. Ia tidak yakin bahwa gadisnya baik-baik saja meskipun disisi lain ia merasa keputusan berpisah ini sudah tepat. Toh, kini gadisnya produktif lagi. Tidak seperti saat bersamanya, yang membuang waktu percuma.

Tapi, rasanya jauh lebih sakit ketika kehadirannya mulai terlupakan dimata gadis cantik yang ia cinta. Seolah-olah tiada habisnya skenario terburuk bermain di kepala tentang gadisnya dan pria lain, atau tentang kabar duka yang ia sangat berharap itu tidak terjadi. Ia tidak tahu.

Ia tidak benci pada gadisnya, melainkan membenci cara bicaranya yang penuh teka-teki dan sulit dimengerti.
Ia tidak ingin kembali, tetapi setiap ingat gadisnya candu untuk mengingat segala hal menjadi semakin tak tertahankan.
Ia tidak ingin gadis yang ia cinta, terluka lagi.
Meskipun itu artinya ia harus siap diinjak dan terluka. Ia bertanggung jawab atas luka-luka yang gadisnya miliki.

Dan sebuah ilusi bermain dengan tanya:

"Perlukah jawaban untuk sebuah pertanyaan tanpa suara?