Halo!
Salam,
Estuwise
Sudah tiga minggu saya mencoba
menulis tentang hal-hal berbau ekologi. Meski tulisannya gak formal, banyak
curhatnya dan kekurangan lainnya daripada akun-akun informatif lain (lagian ini
memang akun pribadi yang dialihfungsikan jadi sarana belajar diri sendiri hehe),
bahkan saking kurangnya di penulisan saya mencoba pakai infografik segala haha.
Semoga apa yang saya tulis, selain berguna untuk diri sendiri tentang kesadaran
tentang lingkungan, bisa berguna juga untuk yang baca, syukur-syukur jadi
tergerak hati dan tangannya untuk menjaga lingkungan masing-masing. Kedepannya,
mudah-mudahan bisa konsisten nulis dulu deh, sambil jalan melakukan perubahan lingkungan
dari diri sendiri. Aamin.
Nah, minggu ini mau bahas tentang
electronic waste alias sampah elektronik karena kemarin sempet nemu di timeline
twitter kalau sekarang di Jakarta sudah ada lho penjemputan sampah elektronik
ini. Bagus bangeet programnya, sampah aja di jemput masa masa depan dibiarkan?
Ehehehe
(sumber : twitter yang menyebar) |
Mengingat kalau baterai laptop
rusak, hape rusak, kulkas rusak, dan barang elektronik lainnya rusak lalu gak
bisa diperbaiki, dibuangnya kemana karena tong sampah biasa bukan solusi
meskipun ada tempat sampah khusus B3.
Pernah dengar RJ? Rafa Jafar itu
lho anak SMP yang membuat dropbox e-waste
untuk sampah elektronik. Kalian bisa kunjungi websitenya kalau penasaran disini. Wah, saya baru sadar permasalahan sampah
ini di umur 20an, dia sudah peka sama lingkungan dan ada outputnya lagi berupa dropbox e-waste diumur 12! Mantap jiwa!
Rafa Jafar dan e-waste (sumber : google) |
Ngomong-ngomong, sampah elektronik itu apa sih, Tu?
Singkatnya, sampah elektronik itu
adalah sampah yang dihasilkan dari barang elektronik yang tidak terpakai lagi.
Ada 10 masalah besar tentang
lingkungan di Indonesia berdasarkan laman environtment-indonesia, yakni :
sampah, banjir, sungai tercemar, pemanasan global, pencemaran udara, ekosistem
laut yang rusak, air bersih yang sulit, kerusakan hutan, abrasi dan pencemaran
tanah. Berdasarkan KBBI V, arti sampah merujuk pada barang atau benda yang
dibuang karena tidak terpakai lagi dan sebagainya. Sedangkan elektronik ialah
alat yang dibuat berdasarkan prinsip elektronika. Nah lho bingung.
(sumber: tertera) |
Barang elektronik dari layar
monitor, ponsel, printer, kulkas, radio, kamera, kabel usb, charger, baterai laptop,
dan masih banyak lagi. Barang-barang ini biasanya dibuang asal saja kan karena
gak tahu harus gimana. Material yang terkandung dalam barang elektronik
kebanyakan berisi logam berat seperti timah, amerisium, krom, besi, timbal,
perak, merkuri, dan lain-lain yang termasuk kategori B3.
Terus kenapa kok ribet banget sih, kan udah gak terpakai?
Justru karena tidak terpakai
jadinya sampah elektronik ini bermasalah. Karakteristik dari sampah elektronik (yang dalam hal
ini termasuk dalam sampah B3) itu selain beracun, korosif (pengikisan), reaktif dan mudah meledak,
mudah terbakar serta menyebabkan infeksi dan bisa berdampak lebih luas
ketika telah terkontaminasi dengan air, tanah dan udara.
Hmm ... terus?
Saya ingat beberapa waktu lalu,
teman SMA saya mengunggah foto
tentang desa yang terpapar sampah B3 (tapi saya lupa nama desanya apa,
yang tahu boleh komentar buat jadi bahan diskusi). Sedih banget lihat banyak bayi yang cacat karena terinfeksi sejak
dalam kandungan, belum lagi sumber air di desa mereka tercemar zat berbahaya
dari pabrik membuat gatal-gatal
dan luka diseluruh tubuh nyaris seluruh warga desa tersebut. Tidak cukup
bayi, bahkan sawah mereka juga ikut tercemar. Terus saya jadi gak bisa tutup mata,
kita harusnya gak bisa pura-pura gak tahu kalau bahaya sampah itu benar-benar
bisa mengancam generasi di masa depan.
Lima sampai sepuluh tahun lagi, berapa
banyak manusia yang terlahir ke dunia, berapa banyak sampah yang akan
dihasilkan dari manusia-manusia yang lahir itu? Tolong yang dipikirin jangan
cuma urusan selangkangan saja, masalah sampah lebih mendesak untuk dicari jalan
keluarnya dibanding istri yang menolak untuk melakukan seks (Media tidak
menyoroti sampah karena urusan selangkangan memang lebih populer untuk
dijadikan bahan diskusi, sih. Ah... kalau kayak gini memang teori gratifikasi
banget sih ya. Tergantung juga sama audiensnya dalam memilih apa yang mereka
ingin ketahui).
Setelah saya cari tahu, ternyata United Nations University bersama
International Telecommunication Union (ITU) dan International Solid Waste Association (ISWA) telah merilis hasil
penelitian mereka ditahun 2016 tentang sampah elektronik. Tahu gak nih berapa banyak sampah elektronik
yang dihasilkan penduduk Indonesia? Jumlahnya kurang lebih 1,274 juta ton atau rata-rata 4,9
kilogram per kapita sepanjang 2016. Fantastis? Iya dong. Udahlah, gak
usah pura-pura kaget. Dalam dua artikel kemarin, saya menyebutkan berton-ton
sampah yang negara kita hasilkan. Penelitian yang berjudul The Global E-waste Monitor 2017 Quantities, Flows, and Resources
menyebutkan pula masyarakat
dunia menghasilkan 44,7 juta ton atau rata-rata 6,1 kilogram per jiwa pada 2016
dan China ada di urutan pertama sedangkan Indonesia ada di urutan ke-9 penghasil sampah elektronik.
Sekarang 2019, tapi saya belum nemu riset terbaru nih, kita ada di urutan
keberapa ya kira-kira?
(baca tulisanku tentang ecobrick)
Peningkatan sampah elektronik ini juga ada hubungannya dengan
lifestyle atau gaya hidup kita.
Coba deh, diingat-ingat. Umur berapa kalian mulai gonta-ganti perangkat
elektronik, kayak pengen banget gadget baru padahal yang lama masih bagus, cuma
lemot doang? Atau karena teman kita punya laptop baru yang lebih canggih dan
bisa main dota (dota mulu sampai listrik jebol-_-) tanpa nge-lag jadinya baper
dan pengen beli juga, padahal laptop lama masih bisa digunakan.
Dikutip dari laman Greenpeace, survei
tentang persepsi dan perilaku konsumen yang dilakukan oleh Greenpeace Indonesia
dan Ipsos MORI, menyebutkan persentase dari pembelian smartphone baru meskipun smartphone lama masih beroperasi dengan
baik sebesar 59 persen untuk responden berpenghasilan dibawah 5 juta rupiah dan
65 persen untuk responden yang berpenghasilan diatas itu. Penelitian ini
dilakukan pada 29 Juli hingga 16 Agustus 2016 kepada 1,007 responden dengan
rentang umur 18 – 55 tahun di Indonesia. Alasan ganti ponsel ini bukan karena
kebutuhan, tapi karena keinginan.
Padahal, tahu gak sih kalau
ponsel atau smartphone kita itu
terdiri dari beragam logam atau mineral yang tentu saja akan mengkontaminasi
tanah jika dibuang sembarangan. Gary Cook dalam artikel berjudul Seberapa Hijaukah "Gadged"mu?
menuliskan fakta bahwa sebanyak 80 persen polusi karbon terjadi bahkan sebelum
kita menyalakannya dan untuk mendapatkan 100 gram mineral di tiap ponsel
pintar, penambang harus menggali, menambang, dan memproses lebih dari 340
bebatuan.
Edan. Berapa banyak kita mencuri
semua batuan, merusak lapisan ozon di bumi hanya untuk lifestyle?
Ironisnya lagi, meskipun
perusahaan besar Apple, Google, Microsoft, dan Amazon merespon kekhawatiran
publik baru Apple yang berani berkomitmen untuk gunakan 100% energi terbarukan
dalam semua kegiatan rantai suplainya. Yang lain? Masih sibuk promosi kamera
paling bagus untuk swafoto mungkin...
Tinggalkan dulu itu ya, terlalu
berat untuk saya pelajari haha.
(Baca tulisanku tentang sedotan)
Daritadi ngomongin panjang lebar tentang sampah elektronik yang
bejibun. Terus emang masalahnya apa sih, Tu? Segawat apaaa?
Berikut saya kutip tulisan Riyandi
Rahmat dalam laman environment-indonesia :
Diantara efek
sampah B3 berbahanya terhadap kesehatan manusia adalah karena sifat
toksik bahan yang dikandung dalam limbah tersebut. Berbagai jenis
penyakit yang dapat terjadi karena limbah berbahaya adalah; penyakit pneumoniosis, silicosis, byssinosis, siderosis, talkosis dan
berbagai jenis keracunan lainnya.
Ah, gak ngerti itu penyakit apaan kok namanya susah banget, Tu?
Pneumoconiosis adalah penyakit saluran pernapasan. Sakitnya karena
adanya partikel (debu) yang masuk atau mengendap di dalam paru-paru. Silicosis adalah adalah sesak napas,
batuk, demam dan kalau akut akan sianosis (kulit kebiruan). Byssinosis adalah
penyakit paru yang terjadi pada pekerja di industri tekstil (menghirup debu
katun). Siderosis
adalah penyakit paru kerja akibat pengumpulan debu besi yang mengandung
persenyawaan zat besi Fe2O2.
Kalau mau lebih lengkapnya bisa
cari sendiri betapa seramnya penyakit-penyakit diatas. Apalagi penyakit
tersebut datangnya dari sampah B3 yang efeknya hanya ada akut dan kronis bagi
makhluk hidup khususnya manusia. Efek ini akan merusak susunan syarafnya,
sistem pencernaannya, sistem kardio vasculernya, kerusakan sistem pernafasan,
kerusakan pada kulit, hingga kematian.
Manusia memang rawan mati.
Hah sampai kematian? Terus gimana caranya biar sampah elektronik ini
bisa dibuang dengan baik, Tu?
Wah, saya sendiri masih belum seperti
RJ yang menggagas dropbox e-waste sebagai
salah satu solusi dari sampah elektronik sih, tapi sebagai saran dan menurut
saya patut dicoba adalah dengan mengganti gaya hidup seperti tidak ganti-ganti
gadget, tidak buang barang elektronik seperti baterai, kulkas, dan lain-lain ke
tanah/tong sampah biasa, dan menghubungi pihak penanganan sampah elektronik
seperti Mall Sampah atau ecoberingin.com.
Ada cara yang lebih praktis gak sih?
Harusnya ada. Kabar gembira untuk
penduduk DKI, sejak 2017 Deputi Lingkungan Hidup Jakarta sudah membuat program
dengan ada layanan penjemputan limbah elektronik. Tinggal isi form yang bisa
diakses dari website ataupun dari Facebook Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta
aja lho.
(sumber : lingkunganhidup.jakarta.go.id) |
Tapi sayang banget baru ada di
kota Jakarta aja nih. Daerah lain belum tergerak untuk mengolah sampah
elektronik mungkin... semoga di masa depan masalah sampah elektronik ini ada
solusinya.
(sumber: DLH DKI Jakarta) |
Kita gak mau kan, bumi berubah
jadi sampah seperti di film Wall-e? ☹
Dari dokumen yang saya dapat dari
epa.gov, ada beberapa industri yang menyediakan fasilitas daur ulang di
Indonesia, yakni di Batam, Jawa Tengah, Jawa Barat dan Tangerang. Bisa dilihat
dari tabel, Batam memiliki satu industri
yang memisahkan bagian-bagian kecil komponen eletronik, plastik, dan material
elektronik. Di Jawa Tengah ada tiga industri, dua mengumpulkan baterai bekas
dan yang satu mengumpulkan layar monitor. Jawa Barat memiliki tiga industri
yang hanya mengumpulkan sampah elektronik untuk diekspor. Terakhir di Tangerang
yang memiliki satu industri yang mengumpulkan semua sampah elektronik.
(sumber : epa.gov) |
Masalah sampah elektronik ini gak
cuma dari user alias penggunanya, tapi perlu juga peran dari perusahaan yang
buat alat elektronik dan pemerintah untuk menemukan solusi terbaiknya. Kalau saran
saya sebagai pengguna sih, ya... cukup menyimpan barang elektronik rusak di
gudang rumah saja biar tidak berbahaya untuk lingkungan. Gak tahu nanti kalau di
daerah saya sudah ada penjemputan sampah elektronik, mungkin baru saya
kasihkan hehehe.
Sumber :
gambar :
https://environment-indonesia.com/efek-limbah-bahan-berbahaya-bagi-manusia/