Top Social

cerita-cerita untuk dikenang

Waspada Sampah Elektronik

Rabu, 20 Maret 2019
Halo!

Sudah tiga minggu saya mencoba menulis tentang hal-hal berbau ekologi. Meski tulisannya gak formal, banyak curhatnya dan kekurangan lainnya daripada akun-akun informatif lain (lagian ini memang akun pribadi yang dialihfungsikan jadi sarana belajar diri sendiri hehe), bahkan saking kurangnya di penulisan saya mencoba pakai infografik segala haha. Semoga apa yang saya tulis, selain berguna untuk diri sendiri tentang kesadaran tentang lingkungan, bisa berguna juga untuk yang baca, syukur-syukur jadi tergerak hati dan tangannya untuk menjaga lingkungan masing-masing. Kedepannya, mudah-mudahan bisa konsisten nulis dulu deh, sambil jalan melakukan perubahan lingkungan dari diri sendiri. Aamin.

Nah, minggu ini mau bahas tentang electronic waste alias sampah elektronik karena kemarin sempet nemu di timeline twitter kalau sekarang di Jakarta sudah ada lho penjemputan sampah elektronik ini. Bagus bangeet programnya, sampah aja di jemput masa masa depan dibiarkan? Ehehehe

(sumber : twitter yang menyebar)




Mengingat kalau baterai laptop rusak, hape rusak, kulkas rusak, dan barang elektronik lainnya rusak lalu gak bisa diperbaiki, dibuangnya kemana karena tong sampah biasa bukan solusi meskipun ada tempat sampah khusus B3.

Pernah dengar RJ? Rafa Jafar itu lho anak SMP yang membuat dropbox e-waste untuk sampah elektronik. Kalian bisa kunjungi websitenya kalau penasaran disini. Wah, saya baru sadar permasalahan sampah ini di umur 20an, dia sudah peka sama lingkungan dan ada outputnya lagi berupa dropbox e-waste diumur 12! Mantap jiwa!

Rafa Jafar dan e-waste
(sumber : google)


Ngomong-ngomong, sampah elektronik itu apa sih, Tu?

Singkatnya, sampah elektronik itu adalah sampah yang dihasilkan dari barang elektronik yang tidak terpakai lagi.

Ada 10 masalah besar tentang lingkungan di Indonesia berdasarkan laman environtment-indonesia, yakni : sampah, banjir, sungai tercemar, pemanasan global, pencemaran udara, ekosistem laut yang rusak, air bersih yang sulit, kerusakan hutan, abrasi dan pencemaran tanah. Berdasarkan KBBI V, arti sampah merujuk pada barang atau benda yang dibuang karena tidak terpakai lagi dan sebagainya. Sedangkan elektronik ialah alat yang dibuat berdasarkan prinsip elektronika. Nah lho bingung.
(sumber: tertera)
Barang elektronik dari layar monitor, ponsel, printer, kulkas, radio, kamera, kabel usb, charger, baterai laptop, dan masih banyak lagi. Barang-barang ini biasanya dibuang asal saja kan karena gak tahu harus gimana. Material yang terkandung dalam barang elektronik kebanyakan berisi logam berat seperti timah, amerisium, krom, besi, timbal, perak, merkuri, dan lain-lain yang termasuk kategori B3.

Terus kenapa kok ribet banget sih, kan udah gak terpakai?

Justru karena tidak terpakai jadinya sampah elektronik ini bermasalah. Karakteristik dari sampah elektronik (yang dalam hal ini termasuk dalam sampah B3) itu selain beracun, korosif (pengikisan), reaktif dan mudah meledak, mudah terbakar serta menyebabkan infeksi dan bisa berdampak lebih luas ketika telah terkontaminasi dengan air, tanah dan udara.

Hmm ... terus?

Saya ingat beberapa waktu lalu, teman SMA saya mengunggah foto tentang desa yang terpapar sampah B3 (tapi saya lupa nama desanya apa, yang tahu boleh komentar buat jadi bahan diskusi). Sedih banget lihat banyak bayi yang cacat karena terinfeksi sejak dalam kandungan, belum lagi sumber air di desa mereka tercemar zat berbahaya dari pabrik membuat gatal-gatal dan luka diseluruh tubuh nyaris seluruh warga desa tersebut. Tidak cukup bayi, bahkan sawah mereka juga ikut tercemar. Terus saya jadi gak bisa tutup mata, kita harusnya gak bisa pura-pura gak tahu kalau bahaya sampah itu benar-benar bisa mengancam generasi di masa depan. 

Lima sampai sepuluh tahun lagi, berapa banyak manusia yang terlahir ke dunia, berapa banyak sampah yang akan dihasilkan dari manusia-manusia yang lahir itu? Tolong yang dipikirin jangan cuma urusan selangkangan saja, masalah sampah lebih mendesak untuk dicari jalan keluarnya dibanding istri yang menolak untuk melakukan seks (Media tidak menyoroti sampah karena urusan selangkangan memang lebih populer untuk dijadikan bahan diskusi, sih. Ah... kalau kayak gini memang teori gratifikasi banget sih ya. Tergantung juga sama audiensnya dalam memilih apa yang mereka ingin ketahui).

Setelah saya cari tahu, ternyata United Nations University bersama International Telecommunication Union (ITU) dan International Solid Waste Association (ISWA) telah merilis hasil penelitian mereka ditahun 2016 tentang sampah elektronik. Tahu gak nih berapa banyak sampah elektronik yang dihasilkan penduduk Indonesia? Jumlahnya kurang lebih 1,274 juta ton atau rata-rata 4,9 kilogram per kapita sepanjang 2016. Fantastis? Iya dong. Udahlah, gak usah pura-pura kaget. Dalam dua artikel kemarin, saya menyebutkan berton-ton sampah yang negara kita hasilkan. Penelitian yang berjudul The Global E-waste Monitor 2017 Quantities, Flows, and Resources menyebutkan pula masyarakat dunia menghasilkan 44,7 juta ton atau rata-rata 6,1 kilogram per jiwa pada 2016 dan China ada di urutan pertama sedangkan Indonesia ada di urutan ke-9 penghasil sampah elektronik. Sekarang 2019, tapi saya belum nemu riset terbaru nih, kita ada di urutan keberapa ya kira-kira?

(baca tulisanku tentang ecobrick)

Peningkatan sampah elektronik ini juga ada hubungannya dengan lifestyle atau gaya hidup kita. Coba deh, diingat-ingat. Umur berapa kalian mulai gonta-ganti perangkat elektronik, kayak pengen banget gadget baru padahal yang lama masih bagus, cuma lemot doang? Atau karena teman kita punya laptop baru yang lebih canggih dan bisa main dota (dota mulu sampai listrik jebol-_-) tanpa nge-lag jadinya baper dan pengen beli juga, padahal laptop lama masih bisa digunakan.

Dikutip dari laman Greenpeace, survei tentang persepsi dan perilaku konsumen yang dilakukan oleh Greenpeace Indonesia dan Ipsos MORI, menyebutkan persentase dari pembelian smartphone baru meskipun smartphone lama masih beroperasi dengan baik sebesar 59 persen untuk responden berpenghasilan dibawah 5 juta rupiah dan 65 persen untuk responden yang berpenghasilan diatas itu. Penelitian ini dilakukan pada 29 Juli hingga 16 Agustus 2016 kepada 1,007 responden dengan rentang umur 18 – 55 tahun di Indonesia. Alasan ganti ponsel ini bukan karena kebutuhan, tapi karena keinginan.

Padahal, tahu gak sih kalau ponsel atau smartphone kita itu terdiri dari beragam logam atau mineral yang tentu saja akan mengkontaminasi tanah jika dibuang sembarangan. Gary Cook dalam artikel berjudul Seberapa Hijaukah "Gadged"mu? menuliskan fakta bahwa sebanyak 80 persen polusi karbon terjadi bahkan sebelum kita menyalakannya dan untuk mendapatkan 100 gram mineral di tiap ponsel pintar, penambang harus menggali, menambang, dan memproses lebih dari 340 bebatuan.

Edan. Berapa banyak kita mencuri semua batuan, merusak lapisan ozon di bumi hanya untuk lifestyle?

Ironisnya lagi, meskipun perusahaan besar Apple, Google, Microsoft, dan Amazon merespon kekhawatiran publik baru Apple yang berani berkomitmen untuk gunakan 100% energi terbarukan dalam semua kegiatan rantai suplainya. Yang lain? Masih sibuk promosi kamera paling bagus untuk swafoto mungkin...

Tinggalkan dulu itu ya, terlalu berat untuk saya pelajari haha.

(Baca tulisanku tentang sedotan)

Daritadi ngomongin panjang lebar tentang sampah elektronik yang bejibun. Terus emang masalahnya apa sih, Tu? Segawat apaaa?

Berikut saya kutip tulisan Riyandi Rahmat dalam laman environment-indonesia :
Diantara efek sampah B3 berbahanya terhadap kesehatan manusia adalah karena sifat toksik bahan yang dikandung dalam limbah tersebut. Berbagai jenis penyakit yang dapat terjadi karena limbah berbahaya adalah; penyakit pneumoniosis, silicosis, byssinosis, siderosis, talkosis dan berbagai jenis keracunan lainnya.

Ah, gak ngerti itu penyakit apaan kok namanya susah banget, Tu?

Pneumoconiosis adalah penyakit saluran pernapasan. Sakitnya karena adanya partikel (debu) yang masuk atau mengendap di dalam paru-paru. Silicosis adalah adalah sesak napas, batuk, demam dan kalau akut akan sianosis (kulit kebiruan). Byssinosis adalah penyakit paru yang terjadi pada pekerja di industri tekstil (menghirup debu katun). Siderosis adalah penyakit paru kerja akibat pengumpulan debu besi yang mengandung persenyawaan zat besi Fe2O2.

Kalau mau lebih lengkapnya bisa cari sendiri betapa seramnya penyakit-penyakit diatas. Apalagi penyakit tersebut datangnya dari sampah B3 yang efeknya hanya ada akut dan kronis bagi makhluk hidup khususnya manusia. Efek ini akan merusak susunan syarafnya, sistem pencernaannya, sistem kardio vasculernya, kerusakan sistem pernafasan, kerusakan pada kulit, hingga kematian.
Manusia memang rawan mati.

Hah sampai kematian? Terus gimana caranya biar sampah elektronik ini bisa dibuang dengan baik, Tu?

Wah, saya sendiri masih belum seperti RJ yang menggagas dropbox e-waste sebagai salah satu solusi dari sampah elektronik sih, tapi sebagai saran dan menurut saya patut dicoba adalah dengan mengganti gaya hidup seperti tidak ganti-ganti gadget, tidak buang barang elektronik seperti baterai, kulkas, dan lain-lain ke tanah/tong sampah biasa, dan menghubungi pihak penanganan sampah elektronik seperti Mall Sampah atau ecoberingin.com.

Ada cara yang lebih praktis gak sih?

Harusnya ada. Kabar gembira untuk penduduk DKI, sejak 2017 Deputi Lingkungan Hidup Jakarta sudah membuat program dengan ada layanan penjemputan limbah elektronik. Tinggal isi form yang bisa diakses dari website ataupun dari Facebook Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta aja lho.
(sumber : lingkunganhidup.jakarta.go.id)
Tapi sayang banget baru ada di kota Jakarta aja nih. Daerah lain belum tergerak untuk mengolah sampah elektronik mungkin... semoga di masa depan masalah sampah elektronik ini ada solusinya.
(sumber: DLH DKI Jakarta)

Kita gak mau kan, bumi berubah jadi sampah seperti di film Wall-e?

Dari dokumen yang saya dapat dari epa.gov, ada beberapa industri yang menyediakan fasilitas daur ulang di Indonesia, yakni di Batam, Jawa Tengah, Jawa Barat dan Tangerang. Bisa dilihat dari tabel,  Batam memiliki satu industri yang memisahkan bagian-bagian kecil komponen eletronik, plastik, dan material elektronik. Di Jawa Tengah ada tiga industri, dua mengumpulkan baterai bekas dan yang satu mengumpulkan layar monitor. Jawa Barat memiliki tiga industri yang hanya mengumpulkan sampah elektronik untuk diekspor. Terakhir di Tangerang yang memiliki satu industri yang mengumpulkan semua sampah elektronik.


(sumber : epa.gov)


Masalah sampah elektronik ini gak cuma dari user alias penggunanya, tapi perlu juga peran dari perusahaan yang buat alat elektronik dan pemerintah untuk menemukan solusi terbaiknya. Kalau saran saya sebagai pengguna sih, ya... cukup menyimpan barang elektronik rusak di gudang rumah saja biar tidak berbahaya untuk lingkungan. Gak tahu nanti kalau di daerah saya sudah ada penjemputan sampah elektronik, mungkin baru saya kasihkan hehehe.



 Salam,
Estuwise

Sumber :

gambar :
https://environment-indonesia.com/efek-limbah-bahan-berbahaya-bagi-manusia/