Top Social

cerita-cerita untuk dikenang

Lilin dan Kura-kura Tua

Minggu, 13 November 2022

Malam itu cerah, langit tanpak bersih dengan sedikit awan dan bulan sabit yang bersinar terang. Sebuah lilin yang cerewet sejak tadi mengajak kura-kura itu bicara meskipun pada akhirnya ia yang berbicara terus, sedangkan kura-kura itu sibuk menjadi pendengar.


"Kalau kamu sadar, kita berdua punya kesamaan." Kura-kura tanpa nama itu diam saja ketika lilin putih dengan tubuh besar itu bicara. Hari itu, jagat malam terlalu sunyi untuk sebuah kuil besar sehabis perayaan tahun baru. Tidak ada hujan hari ini. Menurut kepercayaan mereka, itu pertanda baik. Apalagi seminggu sebelum perayaan hujan turun tiada henti. 


Lilin yang tubuhnya semakin memendek itu hanya melirik ke arah kura-kura tua yang merangkak pelan diantara keramik-keramik berisi dupa. Tahu kalau ia diabaikan, ia menyahut lagi.


"Kita sama-sama lambat, Pak Kura-kura." ucapnya.


Kura-kura itu berhenti. Hendak menoleh, namun pergerakannya pelan.


"Aku sih lebih baik daripada kamu, Lin." jawab Kura-kura itu. "5 Tahun aku bergerak ke sana-sini, meskipun ujungnya bakal kembali ke kolam kecil di pojok kawasan ini. Setidaknya aku bergerak. Aku tidak habis sepertimu." sombongnya.


"Eh, aku bisa kembali lagi tau!" Sang Lilin tidak terima.


"Ya, kalau mereka-mereka mau mengambil lelehanmu dan menyatukanmu dengan sumbu yang baru." imbuh Kura-kura. 


"Artinya, aku lebih beruntung dong daripada bapak yang kerjanya hanya mondar-mandir gak jelas." sungut Lilin.


Angin-angin menimbulkan gemerisik diantara dedaunan seolah menertawakan percakapan dua makhluk Tuhan. Sang lilin masih menyala, menerangi seperempat bagian dari ruangan tersebut. Diantara temaram, Kura-kura kecil yang usianya sudah tua itu berjalan lagi sampai tidak sadar sudah ada dipojokan meja. Ia terjungkal ke bawah, otomatis kepalanya masuk dalam tempurung.


"Dasar penakut! Jatuh begitu saja langsung sembunyi. Pak, kamu gak lihat aku tetap berdiri tegak meskipun hujan badai menggelegar kah?" ejek Lilin.


"Persamaan kita itu lambat, seperti katamu, Lin." Kura-kura mengeluarkan kepalanya lagi setelah hampir saja tempurung itu terbalik membuat dirinya tidak bisa bergerak kemana-mana. "Aku lambat pergi kemanapun yang aku mau karena beban tempurungku ini. Sedangkan kamu, harus lambat meleburkan diri supaya cahayamu tetap ada sampai matahari menggantikan kehadiranmu. Kita lambat di jalan masing-masing."


"Sebenci-bencinya aku berjalan lambat," lanjut Kura-kura itu, "aku senang karena setidaknya aku punya teman satu nasib. Sama-sama mengerti bahwa tidak apa-apa untuk bergerak perlahan ataupun menghancurkan diri sendiri agar bisa menerangi orang lain." 


Sang Lilin diam sejenak.


"Tapi aku benci diam saja pak... Aku mau bergerak meskipun lambat sepertimu. Aku ingin seperti kembang api yang indah dan dikelilingi oleh banyak manusia meski hanya sehari di malam tahun baru. Atau aku juga ingin seperti lampu-lampu neon di papan reklame yang selalu dilihat oleh banyak orang. Aku benci menjadi diriku, meliuk-liuk sendirian hingga tubuhku tidak lagi utuh." keluh Lilin.


Kura-kura tersebut berjalan perlahan. Pelan-pelan sekali untuk sampai di bawah kaki meja yang ada lilin cerewet itu diatasnya. 

"Awalnya aku juga membenci diriku yang bergerak pelan seperti ini. Aku ingin jadi kucing yang disayang-sayang menusia. Atau jadi seperti tupai yang bisa lompat sana sini. Aku juga terkadang ingin sekali jadi cacing-cacing di tanah yang tidak perlu mendengar bising setiap hari." jawabnya.


"Tapi aku mengerti setelah aku mendengar keluhanmu." lanjut kura-kura itu. Lilin putih tadi tampak penasaran. Tubuhnya tinggal setengah saat ini, hampir habis.


"Mengerti apa?" tanya Lilin.


"Kadang kita hanya perlu bicara seperti ini, Lin. Mengeluh apa yang kita inginkan tidak terwujud, bukan untuk dinasehati atau diberi solusi. Hanya mengeluh saja. Mengeluh dari apa-apa yang tidak bisa kita capai. Atau kusebut ini sebagai berbagi cerita?" Kura-kura tersebut terkekeh. Jenis kekehan yang biasa ditemui ketika merasa lega.


"Selama ini kita hanya mengeluh di dalam hati, kan?" tanya kura-kura. 


"Ya..." Jawab Lilin. "Aku mengeluh karena terlalu cepat mencair jika panas dan angin sedang bersama. Aku juga mengeluh kalau api mulai menjalar di sumbu dengan lambat, seolah-olah aku disiksa untuk melihat senyum-senyum manusia yang berdoa dan berbahagia. Aku hanya bisa mengeluh sendirian, lilin-lilin disekitarku tidak pernah setuju dengan pendapatku. Katanya aku aneh."


"Fungsi lilin itu sebagai pengganti cahaya saat gelap. Kamu tahu itu, kan, Lin?"


"Iyaa, tapi kan aku mau juga bisa bergerak bebas!"


"Lantas, kamu mau apa setelah ini? Masih malam tahun baru, kamu mau berdoa jadi lilin yang bergerak bebas? Katanya keinginan bisa terwujud di malam ini."


Lilin tertawa. 


"Terima kasih kepedulianmu, Pak Kura-kura. Tapi aku juga tidak mau pergi dari tempat ini. Nanti doa mereka yang datang tidak terwujud."


Sang kura-kura tersenyum. 


"Tentu, kau aslinya sudah tahu betapa pentingnya dirimu di sini, kamu hanya ingin mengeluh, kan?"


Malam itu, sang lilin kembali menghanguskan dirinya sampai pagi. Sementara kura-kura itu ditemukan mati terbalik di bawah kolong undakan tangga kecil dekat tempat lilin itu di simpan.